Kamis, 19 Agustus 2010

MENGENAL PEMIKIRAN FOUCAULT

Foucault lahir pada tanggal 15 Oktober 1926 di Poiters, Perancis dengan nama Paul Foucault.Ibunya bernama Anne Malapert dan menambahkan nama Michel untuk anaknya. Foucault dari keluarga ilmuwan. Ayah dan kakeknya ahli medis dan mengharapkan anaknya mengikuti jejak mereka. Tetapi dia malah memilih studi filsafat, sejarah dan psikologi.

Setalah menamatkan pendidikan dasar, dia meneruskan ke Kolose Staint-Stainlas. Di sinilah dia mulai berkenalan dengan filsafat Yunani, Modern, Descartes dan Henry Bergson. Dari Kolose ini, dia melanjutkan studi ke Universitas Sorbon dan memilih ENS (Ecole Normale Superiure. Karena telah memiliki reputasi terbaik dalam filsafat Di sainilah dia mengenal tulisan-tulisan filsuf yang berpengaruh seperti Hegel, Mrx dan Freud.

Beberapa filsuf Perancis saat itu seperti Sartre, Maurice, Marleau Ponty dan Louis Althusser menjadi daya minat para mahasiswa studi filsafat. Namun Foucault memeiliki sikap tersendiri terhadap filsafat yang sedang diminati banyak mahasiswa ini. Setelah enyelesaikan studi di ENS, dia kemudian mengarahkan perhatiannya terhadap psikiatri. Di sini dia berhasil meraih lisensi psikologi serta menjadi asisten Althusser. Pada tahun 1952, Foucault dianugrahi diploma psikho patologi dari Universitas Paris atas hasil risetnya mengenai abnormalitas.
Untuk kepentingan pengembangan minatnya yang makin kuat, dia kembali ke rumah sakit jiwa Sainte-Anne, yakni satu rumah sakit yang pernah merawat dirinya dan menganggapnya sebagai pasien sakit jiwa. Di sini dia membantu pelaksanaan eksperimen-eksperimen dengan mengguakan perlatan elektro encephalografi. Dengan peralatanm ini, dia berusaha menganalisis pelbagai abnormalitas yang disebabkan oleh berbagai kekacauan otak semisal akibat luka, epilepsi dan faktor neorologi yang lainnya.
Pada tahun 1955, dia menjadi dosen tamu di Universitas Uppsula, Swedia untuk mengajar sastra dan bahasa Perancis. Foucault dikagumkan oleh kenyataan bahwa perpustakaan Universitas ini mneyimpan setumpuk koleksi arsip mengenai rumah sakit jiwa abad 19 M. Kondisi ini membuat minatnya pada psikiatri tergugah. Hampir setiap hari, dia berada di perpustakaan ini mulai pagi sampai sore.
Pada tahun 1958, Foucault diangkat menjadi direktur Pusat Kebudayaan di Warsawa, Polandia. Setelah itu dia ditempatkan di lembaga sejenis di Hamberg. Pada tahun 1966 dia telah merampungkan karyanya yang monumental tentang arkeologi untuk ilmu-ilmu kemanusiaan. Terjemahan ke dalam bahas inggris berjudul, “The Order of Things; The Archeology of Human Sciences”. Pada musim gugur 1983, foucault mengakhiri pengembaraannya di San Fransisco dan mulai terserang penyakit. 1984 Foucault kembali ke Perancis. Di kota inilah dia jatuh ambruk di apartemennya. Pada 25 Juni 1984 setelah melewati kemerosotan fisik yang amat drastis, Foucault menghembuskan nafas yang terakhir.

Di bagian dunia manapun baik Barat maupun Timur, kuasa yang merupakan satu model berada selalu menjadi sebuah arus utama, baik untuk tujuan pembangunan budaya atau penghancuran melalui konflik dan peperangan. Kuasa senantiasa selalu ada dalam setiap gerakan pikiran maupun tindakan manusia. Kuasa tidak harus dalam bentruk institusi, struktur atau sistem melainkan sebuah nama yang diaplikasikan manusia dalam atau kepada sebuah situasi strategis yang kompleks dalam suatu masyarakat tertentu. Kuasa juga bukan merupakan sesuatu yang diperoleh atau didapatkan atau sesuatu yang dibagi-bagikan. Kuasa adalah relasi peran produktif dalam kehidupan sosial budaya . Kata Foucault selanjutnya. Kuasa dikembangkan melalui berbagai media terutama media pengetahuan karena ia selalu menjalin hubungan yang saling berkait dengan kuasa untuk kemudian mengkonstruksi wacana.

Melalui wacana dan karena faktor wacana terjadilah apa ang kita saksikan sebagai perubahan zaman atau perubahan arah sejarah. Sampai zaman di mana kita tinggal pada saat ini telah berkali-kali terjadi perubahan dan "wacana praktis" menjadi salah satu faktor dari perubahan budaya maupun arah sejarah. Kita merekam sejarah peradaban dari zaman primitif, tradisional lalu modern dan posmodernisme. Perubahan adalah proses sosial budaya dan manusia terlibat di dalamnya baik menjadi pelaku perubahan atau sebagai obyek perubahan, sebuah proses yang terus bergerak dinamis tanpa pernah berhenti dan tidak mengenal titik diam. Salah satu unsur yang penting bagi terjadinya perubahan adalah wacana.

Foucault berupaya mengurai kekusutan pola tradisional mengenai apa yang secara tradisional dipandang sebagai tak dapat diubah. Dia mengurai relasi kuasa yang terjadi pada abad pertengahan sampai modern yang membakukan pola berfikir rasional empirik (empirico-rational) sebagai basis pengetahuan dan kebenaran. Pandangan ini menghegemoni budaya pngetahuan modern. Untuk mengurai benang kusut pemikiran yang telah diterima apa adanya tanpa harus mengalami perubahan ini, Foucault emnggunakan metode arkeologi, genealogi dan problematisasi . Tiga metode ini menjadi pisau analisis guna membedah realitas yang menghegemoni pengetahuan dan wacana yang dilakukan secara diskursif dengan berbagai pola yang sistemik. Dari tiga metodologi di atas, tulisan ini membtasi diri pada dua metode pertama, arkeologi dan genealogi.

Dalam tulisan-tulisan akhir yang masih berupa teks-teks dan naskah yang kurang dikenal oleh publik terdapat pembahasan yang berkenaaan dengan agama. Agama telah menjadi realitas yang ada ditengah-tengah masyarakat. Dengan keadaan ini studi agama berarti sebuah subyek yang mencakup wilayah interdisiplin yang menyatu padukan berbagai aspek seperti filsafat, sosiologi, politik, ekonomi, gerakan sosial. Pertanyaan yang muncul, bagaimana Foucault merajut semua dimensi studi agama menjadi satu keutuhan disiplin agama. Apakah agama sebagai fakta soial budaya memiliki peran dan sumbangsih bagi perubahan? Mungkin jawaban model Foucault yang dapat dipertimbangkan adalah konsep relasi kuasa dan pengetahuan. Dua tema di atas masih bergantug pada ketajaman analisis arkeologis dan genealogis sambil memperhatikan masalah apakah ajaran-ajaran agama di dalamnya memang terdapat premis-premis kuasa dan pengetahuan.

Arkeologi dan genealogi
Di samo\ping problematisasi, aspek metodologi Foucault yang ditawarkan ke dalam budaya filsafat adalah arkeologi, genealogi. Dengan dan melalui metodologi ini, dia hendak menjelajah ke ruang yang dia sebut sebagai “the condition of possibility.” Dengan konsep metodologi ini, dia mengasumsikan adanya kemungkinan munculnya suatu ide, baik yang bersifat evolusioner maupun yang revolusioner. Konsep di atas dikaitkan dengan perjalanan sejarah umat manusia sambil mempertanyakan tradisi metodologis yang selalu diaplikasikan bagi pengkajian sejarah. Ada dua tradisi besar dalam pendekatan sejarah yakni “pendekatan spekulatif Hegelian” dan lainnya adalah pendekatan kritik gagasan Dilthey dan Droysen. Dalam doktrin sejarah, Hegel mengabaikan fakta empirik dan lebih menekankan pada rasio yang memang memiliki potensi spiritual yang mencukupi untuk menjelaskan sejarah. Ada tiga tema dalam spekulatif historis; yakni, teleologi, kedua tentang perubahan apakah linier, sirkuler dan kaostik dan ketiga tema tentang apa kekuatan yang menjadi penggerak perubahan sejarah. Sebaliknya Dulthey dan Droysenm enegaskanbahwa sejarah harus dijelaskan atas dasar fakta empiric.

Teleologi berasal dari kata :telos" artinya adalah tujuan. Hegel mengibaratkan sejarah sebagai sebuah perjalanan yang hendak mencapai titik tujuan. Pertanyaan yang dicoba jawab sejarawan adalah tentang ke mana arah dan tujuan perjalanan sejarah. Ke mana para pelaku sejarah hendakmembawa nasib kolektif umat manusia? Tema kedua tentang perubahan, yakni tentag pola-pola perubahan. Pola perubahan sejarah ini dibagi menjadi tiga; yaitu linier, sirkuler dan kaostik. Tema terakhir tentang kekuatan yang menjadi penggerak perubahan; apakah kekuatan penggerak itu berasal dari dunia konsep-ide atau bersumber dari dunia riel-materi. Sejarawan sepakat bahwa sejarah adalah perjalanan yang identik dengan perkembangan dan perubahan. Sejarah adalah periodisasi perjalanan umat manusia. Setiap periode memiliki karakteristiknya masing-masing . Sejarawan tertarik untuk menjelaskan karakteristik yang khas yang ada dalam setiap periode. Hegel mengajukan gagasan tentang “keberadaan spirit yang khas di dalam perjalanan sejarah yang bersifat periodik.

Foucault membahas tentang "diskontinuitas sejarah”. Sejarah memiliki watak diskontinuitas. Dan dengan konsep ini dia telah menjelaskan diri dalam filsafat sejarah. Dia tidak masuk gerbong sejarah spekulatif dengan cra kerja a priori-rasional, namun dia juga tidak masuk dalam gerbong sejarah Drysen-Diltheyan, yakni sejarah kritik dengan cara kerja a posteriori -empirik.

Manakala kita membaca The Order of Things…, kita menemukan satu kata kunci yaitu "episteme". Konsep ini oleh Foucault dikaitkan dengan sistem pengetahuan mencakup asumsi, prinsip maupun pendekatan yang membentuk satu sistem yang mapan yang berlaku pada masa tertentu. Episteme juga merupakan suatu fondasi epistemologi pada masanya atau pada periodenya dan menjadi garis pembeda dan pemisah antara satu periode dari periode lainnya. Refleksi pemikiran Foucault ini terjadi setelah dia menggeluti periode-periode perkembangan pemikiran dari masa klasik, pertengahan, renaissans dan modern. Data sejarah tentang periode pemikiran memperlihatkan kepada kita keabsahan doktrin Foucault tersebut. Penulis ingin memberi satu misal konkrit episteme periode modern menyusul temuan teori ilmiah Kopernikus tentang pusat jagad raya yang menumbangkan teori yang selama ini diyakini, yakni teori geosentris sementara temuan Kopernikus menunjuk bahwa "matahari dan bukan bumi" yang menjadi pusat jagad raya. Temuan ini ternyata memperoleh sambutan positif para generasi ilmuwan setelahnya. Dalam perkembangannya, keadaan ini (temuan teori ilmiah di dalam astronomi) diyakini oleh para ilmuwan karena ketepatan metodologi yang diaplikasikan dalam penelitian. Selanjutnya, metodologi astronomi ini diterapkan dalam disiplin ilmu kealaman, fisika-kimia, atom, lalu memasuki biologi, dan kemudian diasumsikan oleh aliran positivisme untuk diadop oleh ilmu kemanusiaan termasuk soiologi. Kondisi ini menimbulkan perdebatan epistemologi yang selama ini tidak pernah muncul dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan pada periode sebelum abad modern. Doktrin aliran positivisme menegaskan, jika ilmu-ilmu kemanusiaan dan sosial ingin mencapai kemajuan yang memadai seperti dialami ilmu-ilmu kealaman, maka tidak bisa lain selain harus megadop metodologi ilmu-ilmu alam. Perdebatan metodologi ini melahirkan dua kubu yang berseberangan; pertama kubu yang bersikap anti metodologi naturalistis, sementara yang kedua bersikap pro metodologi naturalistis. Perdebatan episteme ini merupakan isu yang khas yang terjadi pada periode modern. Bandingkan dengan perdebatan episteme abad pertengahan yang mempersoalkan masalah utama saat itu, yakni, apakah universal (ide) itu riel tidak riel. Jika riel apakah dia berupa materi ataukah non materi. Perdebatan episteme khas abad pertengahan tentang masalah di atas (tentang universal) melahirkan dua kubu yang berseberangan, yakni kubu realismus dan kubu nominalismus (dua istilah yang khas dan hanya berlaku pada abad pertengahan). Di antara dua kubu yang berseberangan itu lahir kubu yang moderat. Kubu moderat ini ada dalam periode abad pertengahan maupun abad modern namun wacana praktisnya yang berbeda.

Melalui metode arkeologi, Foucault berusaha menggali masing-masing episteme dari setiap periode. Episteme sekaligus juga digunakan olehnya untuk menjadi pisau analisis terhadap sistem pengetahuan yang diproduk oleh berbagai wacana praktis pada masanya. Menurut Foucault,segala apa yang membentuk ilmu pengetahuan pada masanya banyak ditentukan oleh wacana praktis tersebut. Data tentang episteme setiap periode menegaskan bahwa periode abad pertengahan tidak meneruskan episteme periode abad Yunani (baik Yunani klasik, Helenis maupun Griko-Roman). Demikian juga, episteme periode abad modern bukan kelanjutan dari abad pertengahan. Dari pembacaan sejarah pemikiran dengan pendekatan episteme ini Foucault menyadari bahwa perjalanan sejarah ilmu pengetahuan bukan perjalanan garis sambung yang melanjutkan garis sebelumnya. Kondisi ini menjadi inspirasi bagi dirinya untuk merumuskan konsep "diskontinuitas sejarah". Jika arkeologi berada di garda depan dalam proses ilmiah, maka diskontinuitas sejarah berada di garis akhir dari proses itu; katakanlah bahwa diskontinuitas merupakan kesimpulan studi yang berangkat dengan pendekatan arkeologi.

Demikianlan Foucault mengaplikasikan tema "episteme" untuk mengetahui dan menjelaskan karakteristik setiap periode pemikiran atau perkembangan ilmu pengetahuan. Meskipun tidak mirip sama, sebelumnya Hegel telah melakukan pembacaan periode sejarah menggunakan tema "spirit zaman". Sejarah yang dibaca dengan tema spirit zaman bukan sejarah pemikiran atau perkembangan pengetahuan melainkan sejarah suatu bangsa. Perjalanan sejarah suatu bangsa dibaca oleh Hegel secara periodik. Setiap periode ditandai oleh spirit zamannya. Spirit zaman dalam perjalanan sejarah menjadi karakter khas zaman itu dan berbeda dari zaman sebelum atau sesudahnya. Misal, spirit zaman bangsa masa penjajahan, spirit zaman pada masa awal kemerdekaan, spirit zaman dalammengisi kemerdekaan, spirit zaman pada masa reformasi saat ini.

Foucault berpandangan bahwa wacana praktis dapat dilihat sebagai suatu struktur
yang sistematis yang memberi sumbangsih untuk membangun episteme pada setiap periode tertentu. Dengan bantuan episteme, kita dapat membuat garis pemisah yang membedakan antar satu periode dari periode lainnya atas dasar wacana paktis episteme pada masanya. Hegel berkata, setiap periode sejarah memiliki spirit zamannya sendiri. Baris akhir dari alinea ini adalah bahwa tema episteme dan tema spirit zaman dapat dijadikan sebagai pisau analisis untuk membedah periodisasi sejarah dan keduanya berujung pada, "diskontinuitas sejarah" mrtupsksn bagian yang mungkin terjadi".

Arkeologi atau analisis arkeologis sebagai teknik analisis sejarah pertama kali diwacanakan oleh Foucault dalam karyanya, "The Birth of Clinic: The Archeology of Medicine ". Karya ini bertujuan menyelidiki permulaan ilmu kedokteran yang mengalami pertumbuhan, perkembangan dan perubahan epistemologi secara cepat seperti apa yang terjadi pada akhir abad 18 dan awal abad 19. Tema arkeologi muncul kembali dalam karyanya berjudul, "The Order of Things: The Archeology of Human Sciences". Seperti sebelumnya, karya ini bertujuan menyelidiki asal usul lahirnya ilmu kemanusiaan. Dalam karya ini, secara khusus dia membuat klasifikasi sejarah Eropa menjadi tiga karakter periode yakni periode klasik, renaissans dan modern. Tentu klasifikasi ini didasarkan atas episteme yang muncul dalam wacana praktis pada setiap periode. Menurutnya, ada perbedaan episteme dari tiga periode tersebut dan keadaan ini menajamkan pandangannya dalam melihat sejarah tidak sebagai sebuah totalitas yang utuh tanpa terjadi pecahan dan perbedaan karena perjalanan sejarah juga tidak kontinuitas. Sejarah dalam wacana Foucault dibatasi pada sejarah pemikiran atau sejarah pengetahuan. Foucault memahami sejarah tidak sebagai garis sambung yang menghubungkan satu periode dengan periode lainnya melainkan sebuah perjalanan yang terjadi diskontinuitas.
Penulis tidak ingin terlibat diskusi apakah memasukkan Foucault dalam strukturalisme dengan alasanterrtentu atau tidakmemasukkannya dengan alasanterrtentu. Penulis hanya ingin sekedar membuat paparan cirri-ciri strukturalisme. Ada tiga ciri paling tidak; yaitu:
Pertama, strukturalisme menekankan pada satu keutuhan totalitas. Struktur terdiri dari unit-unit fungsional yang berfungsi menjaga, mempertahankan dan melestarikan eksistensi dan stabilitas struktur.
Kedua, Struktur tidak sekedar memahami apa yang ada di atas permukaan, atau fakta inderawi yang kasat mata melainkan mencoba memahami apa yang berada di balik permukaan, strukturalisme berusaha menjelaskan apa yang ada di balik permukaan. Ia tidak sekedar mengumpulkan fakta jumlah masjid melainan menjelaskan masjid sebagai simbul untuk…, masjid memberikan peran dalam……
Ketiga, Struktur juga berupaya menemukan norm-norma, aturn-aturab, sanksi, ideologi yang ada dibalik struktur, power, dominasi, peran, mekanisme hubungan, mekanisme pergantian pimpinan, mekanisme pencopotan dan semunya itu saling berhubungan dalam upaya untuk menjaga dan mempertahankan struktur, masalah ideologi yang mewarnai. Keempat, strukturalisme memberikan perhatian pada -unsur yang sinkronik dan diakronik. Diakronik berarti penelusuran sejarah suatu konsep atau istilah seperti new, neo, nova; kata katulistiwa ditelusuri sejarahnya yang berasal dari khattul istiwa, atau menelusuri konsep ahlul hall wal aqd secara histories. Sedangkan sinkronik menekankan pada penelusuran sistem, yakni hubungan satu konsep dengan lainnya . Konsep ahlul halli ini punya kaitan dengan kepemimpinan, dengan kriterianya atau dengan proses pemilihannya, atau dengan figure-figur yang akan dipilih dstnya. Ibarat sebuah batang, diakronik itu membelah batang menjadi dua lalu menelusuri satu seratnya mulai dari ujung sampai pangkalnya sementara sinkronik itu memotong (bukan membelah) batang dan akan kelihatan kaitan antar satu serat dengan serat lainnya.
Dalam perkembangannya, atrukturalisme menganalisis oposisi binar (binary opposition), satu pasangan yang berlawanan; laki-laki perempuan, dominan, subdominan, presen dan absen, rasional-non rasional/irasional, kelas majikan, kelas buruh-proletariat, modern tradisional, ekstrim, moderat. Dalam berbagai kasus rumah tangga utamanya tentang kekerasan rumah tangga, maka yang selalu dihadirkan adalah kekerasa suami atas isteri, kekesaran orang tua atas anak. Apakah oposisi binar yang sering hadir dalam masa reformasi ini? Pertanyaan semacam ini jelas menunjuk pada strukturalisme meskipun secara eksplisit sang penanya tidak mengatakan dirinya seorang strukturalisme Jawaban sederhana mengatakan oposisi binar lazim terjadi pada pemilu kada karena selalu menghadirkan oihak yang menang dan pihak yang kalah. Kepentingan structuralisme adalah membuat analisis secukupnya terhadap binari oposisi ini.


Genealogi: Refleksi Kuasa dan Pengetahuan
Di atas telah disinggung bahwa kuasa adalah satu mode berada dan seing menjadi arus utama, baik untuk tujuan pembangunan budaya atau penghancuran melalui konflik dan peperangan. Kuasa senantiasa ada dalam setiap gerakan pikiran maupun tindakan manusia. Kuasa tidak harus melekat pada institusi, struktur atau sistem. Kuasa adalah sebuah nama yang diaplikasikan manusia di dalam atau kepada sebuah situasi strategis yang kompleks dalam suatu masyarakat tertentu. Kuasa juga bukan merupakan sesuatu yang diperoleh atau didapatkan atau sesuatu yang dibagi-bagikan. Kuasa adalah relasi peran produktif dalam kehidupan sosial budaya . Kata Foucault selanjutnya. Kuasa dikembangkan melalui berbagai media terutama media pengetahuan karena ia selalu menjalin hubungan yang saling berkait dengan kuasa untuk kemudian mengkonstruksi wacana.
Ketika memasuki tahun 70 an Foucault memberikan pehatiannya pada genealogi. Pada sisi ini tampak ada pengaruh Nietzsche pada dirinya . Jika arkeologi menekankan pada penyelidikan terhadap wacana praktis utamanya tentang alur logika serta pesan yang dikandung dalam setiap wacana, maka genealogi menekankan pada proses yang melahirkan klaim keabsahan ilmiah atau apa yang lebih sering disebut kebenaran ilmiah. Dengan menerapkan analisis historis, genealogi sebagai salah satu teknik analisis meneliti asumsi-asumsi atau premis yang dibangun para pelaku (ilmuwan) serta obyek yang menjadi fokus perhatian genealogi. Tetapi dengan genealogi, Foucault tidak sedang memberikan contoh konkrit bagaimana seorang ilmuwan bekerja secara ilmiah. Fokus sentral dari genealogi adalah pada hubungan timbal balik antara kuasa dengan pengetahuan, atau jika boleh meminjam istilah hermeneutika, hubungan antara otoritas dengan otonomi. Kuasa dioperasionalkan dalam situasi ilmiah yang merupakan masyarakat ilmiah menggunakan wacana ilmiah praktis dalam upaya pengembangan budaya ilmiah semisal lingkaran Wina, Madzhab Frankfurt, masyarakat ilmiah yang dibentuk Galileo di dalammana Newton adalah salah satu anggotanya, Romantisisme, sebuah wadah yang di dalamnya para fisuf yang aktif melakukan diskusi.


Surabaya, 19-Agustus-2010
a. khozin afandi







Referens

Berten, K, Filsafat Barat Abad XX, jilid II, (Jakarta, Gramedia)996.
Copernicus, "On the Revolution of the Heavenly Spheres", dalam The Great Books of the Western Works, vol. 28, (Chicago, William Bentham,), 1986.
Davidson, Arnold, I, "Archeology, Genealogy and Ethics" dalam antologi David Cozen Hoy (ed.), Foucault; A Critical Reader, (Oxford, Basil Bleckwell), 1986.
Dreyfus dan Rabinow, Michel Foucault: Beyond Structuralism and Hermeneutics (Chicado, The University of Chicago Press), 1983.
Foucault, Michel, History of Sexuality vol. 1; An Introduction, tr. (New York, Harper and Row), 1978
Foucault,..., Madnessand Civilization, iscipline and Punish, The birth of Prison, (New York, Penguin Book, tt).
Foucault,..., Nietzsche, Genealogy, History, (New York, Cornel University Press), 1977
Foucault,..., The Order of Discourse,(London, Routledge & Keagan Paul,) 1981.
Foucault,…, Archeology of knowledge and Discourse of Language, (New York, Pantheon Books), 1972
Foucault,..., The Order of Things, The Archeology of Human Sciences, (New York, Vintage Books), 1994.
Habermas, "Taking Aim at the Heart of The Present" dalam antologi David Couzens Hoy, (ed), “Foucault Reader: A Critical Reader”, (Oxford; Basil Blackwell), 1986
Kant, The Critique of Pure Reason, dalam " Great Book of Western World, vol. 7, (Chicago, William Bentham, 1986)
Salomon, Jean-Jacques. Science and Politics, (Cambridge, The M.I.T., Press, 1973)
Suyono, Seno Joko, Tubuh yang Rasis: Telaah Kritis Michel Foucault Atas Dasar Pembentukan diri Kelas Menengah Eropa (Yogyakarta, Pustaka Pelajar), 2002
Taliafero, "introduction To The Almagest" dalam The Great Books of…., vol. 16, (Chicago, William Bentham), 1986

2 komentar: