Fenomenologi
Fokus kajian atau fokus penelitian fenomenologi adalah struktur kesadaran atau struktur pengalaman. structural consciousness atau structural experience;. Karena itu fenomenologi terkadang disederhanakan sebagai “the science of consciousness” ilmu tentang kesadaran. Menurut doktrin fenomenologi, kesadaran itu terstruktur yang terdiri dari struktur dasar dan struktur-struktur lain yang muncul dari struktur dasar ini. Struktur dasar kesadaran adalah intensionalitas, yakni mengarah ke atau bertujuan ke suatu obyek tertentu . Dari struktur dasar ini muncul persepsi, imajinasi, berfikir, signifikansi, interpretasi, interes, cita-cita, kehendak dll. Para pendiri partai politik, misalnya, adalah para subyek yang di dalam dirinya kaya pengalaman dan kesadaran serta segudang persepsi yang terkait kehidupan berbangsa bernegara. Ini juga terjadi dalam perbankan, pendidikan, pemasaran. Para perintis berdirinya bank syariah, misal, sudah tentu para subyek yang memiliki tingkat kesadaran dan persepsi yang mencapai tingkat kualitatif terkait dengan perbankan. Para subyek yang semacam ini layak ditempatkan sebagai obyek penelitian dengan pendekatan sosiologi- fenomenologi. Obyek penelitian fenomenologi terarah kepada struktur kesaadaran pada diri subyek atau the first person yang memiliki gagasan baru tentang realitas sosial. Karena itu, fenomenologi disebut dengan “subjectivista approach dilawankan dengan pendekatan sosiologi konvensional yang disebut “objactivits approach”.
Di samping sebagai struktur dasar, intensionalitas menghubungan kesadaran dengan dunia luar diri (obyek). Dunia luar diri yang pada awalnya sebagai “things in them selves” berubah menjadi “obyek yang intensionalitas”. Ketika obyek luar tidak menembus masuk ke dalam kesadaran, obyek semacam itu, menurut fenomenologi, disebut dengan “things in themselves”. Namun setelah kesadaran kita mengarah kepada obyek, maka jadilah mereka sebagai obyek yang terintensionalitas; obyek yang diarah oleh kesadaran (Khozin Afandi, 2008) . Banyak orang masuk Mall, tetapi obyek yang diarah berbeda-beda. Jadi, fenomenologi memberi kejelasan gerak dari “things in themselves menjadi things in the consciousness. Dan kesadaran itu memiliki aktivitas “”, directedness toward the object” dan “turn to consciousness”. Fenomenologi juga mengembangkan beberapa konsep yang berhubungan dengan penelitian empirik. Beberapa konsep yang dimaksud antara lain; kesadaran temporal (dalam proses waktu; semisal waktu subuh, isya, maghrib, waktu membayar spp, waktu pemilihan, waktu penghitungan), kesadaran spatial (proses dalam tempat, misal, ketika bertempat di masjid, di warung atau di dalam pesawat maka kesadaran kita selalu menyertainya; apa yang harus atau seharusnya kita lakukan jika tempat kita adalah masjid?. Kesadaran, demikian fenomenologi, merupakan basis dari realitas dan idealitas; the consciousness is the basis of reality and ideality.
Konsep-konsep lainnya adalah kesadaran diri, kesadaran peran diri, kesadaran diri dalam lingkungan, kondisi dan situasi, kesadaran berkomunikasi, kesadaran berbahasa, memahami konsep orang lain, kesadaran saling menghormati dstnya. Temporal- spatial dalam wawasan fenomenologi bertindak sebagai situasi yang menjadi latar belakang pengalaman kita dalam bermasyarakat. Sejumlah pengalaman kita peroleh dari kondisi-kondisi yang melatari diri kita. Temporal spatial bisa dalam bentuk organisasi, lembaga, LSM, YLKI, LBH, partai politik. Melihat kenyataan bahwa partainya kalah bersaing dengan partai partai lainnya, muncul kesadaran pimpinan. Dari kesadaran ini, muncul persepsi, pemikiran, perancangan, imajinasi, kehendak dll.
Fenomenologi juga berbicara tentang deskripsi. Ia memilah antara deskripsi fenomenologi dengan deskripsi “the man in the street”. Penulis merasa tidak mampu menemukan apa makna sebenarnya dari istilah di atas. Apakah the man on the street berarti orang-orang jalanan? Siapakah orang-orang jalanan itu? Apakah kernet MPU, kernet bus, bakul sayur mayur, tukang becak. Atau istilah itu berarti “orang awam”. Ciri deksripsi the man in the street adalah mereka hanya sebatas membuat deskripsi apa adanya. Dan deskripsi fenomenologi berbeda dari deskripsi semacam apa yang bisa dilakukan the man in the street. Aron Gurwitsch, ilmuwan sejawat Alfred Schutz (perintis fenomenologi sosiologi) menandaskan, “if you do not use phenomenological methods, you are not doing phenomenology” . Analisis deskriptif yang dikehendaki oleh fenomenologi dapat kita temukan dalam Wikipedia the free encyclopedia, yakni “an analytical description of acts of intentional consciousness. The object of such an anlysis is the meaningful lived world of everyday life”.
Beberapa pokok doktrin Fenomenologi
Paragrap ini memaparkan sebuah informasi tambahan sesudah apa yang telah diurai di atas. Informasi diharapkan membantu sidang pembaca mengembangkan pemahaman yang mencapai tingkat kualitatif.
1. Satu dari tokoh fenomenologi adalah Husserl. Husserl mendasarkan filsafatnya di atas keyakinan bahwa realitas merupakan intensionalitas (sesuatu yang diarah) oleh kesadaran diri manusia. Makna sesuatu, dengan demikian, tidak bersifat inheren (melekat) pada obyek melainkan berada di dalam inner life (mental-batin) seseorang.
2. Kita selamanya tidak dapat memahami seperti apa sebenarnya dunia ini; apa yang kita lakukan tak lain hanya berharap diri kita dapat mamahami dunia karena “makna itu” selalu subyektif sifatnya.
3. Pemahaman yang bersifat obyektif tidak mungkin (impossible).
4. Di dalam psikologis ada kreasi atau kreasi itu dimiliki psikologi. Kreasi itu muncul ketika terjadi kontak dengan fenomena (obyek) yang masuk ke dalam kesadaraan.
Davis (www.jcweb.org...) mengutip pernyataan Alfred Schutz, seorang ilmuwan perintis disiplin sosiologi fenomenologi, sbb:
a. Dunia keseharian adalah dunia budaya intersubyektif,
b. Intersubyektif itu terjadi karena ada relasi dengan pihak lain dalam kebersamaan dengan cara memahami orang lain atau dipahami oleh orang lain
c. Makna diperoleh tidak dengan cara menunggu secara pasif melainkan dengan melakukan konstruksi secara aktif terhadap tumpukan multi struktur yang diupayakan ditemukan maknanya melalui bahasa. Peneliti fenomenlogis berusaha menemukan makna tersebut
d. Kajian (penelitian) fenomenologi memfokuskan pada individu, meneliti tentang bagaimana para individu-warga masyarakat secara aktif dan secara koperatif mengkonstruk budaya yang mereka merupakan bagian di dalamnya. .
Di bawah ini tulisan fenomenologi dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy, sbb.
1. Phenomenology is the study of structures of consciousness as experienced from the first person poin of view. Fenomenologi mengkaji atau meneliti struktur kesadaran sebagai pengalaman dari pandangan subyek (the firsdt person poin of view). Maknanya mungkin demikian, obyek yang menjadi fokus penelitian adalah struktur kesadaran atau (pengalaman yang disadari). Kesadaran ini ada di dalam diri subyek atau “the first person”. Sudah tentu subyek itu memiliki wawasan atau pandangan tentang dunia kehidupan.
2. Karena itu, fenomenologi didefiniskan sebagai disiplin yang mengkaji struktur pengalaman atau kesadaran. Secara literal, fenomenologi mengkaji fenomena, yakni sesuatu yang tampak mata (appearances of things). Sedangkan makna sesuatu itu terdapat di dalam pengalaman diri atau kesadaran diri.
3. Secara dasariah, fenomenologi mengkaji struktur berbagai jenis pengalaman yang bergerak dari persepsi, pemikiran, memori, imajinasi, keinginan, kehendak yang diwujudkan dalam tindak nyata, aktivitas sosial termasuk aktivitas berbahasa.
Tulisan Myron Orleans tentang fenomenologi meliput pokok-pokok, sbb;
1.Husserl sebagai bapak fenomenologi berkeyakinan bahwa konsep “objectivism of science” menjadi penghalang untuk memperoleh pemahaman yang mencukupi tentang dunia (mungkin “dunia kehidupan”). Realitas tidak terdapat dalam obyek melainkan dalam diri subyek, dalam kesadaran subyek, dalam penafsiran subyek, dalam persepsi subyek.
2. Fenomenologi dipandang sebagai penantang (a challenger of) terhadap cara kerja sosiologi konvensional (yang dikehendaki adalah fungsionalisme, strukturalisme, teori konflik, teori perubashan, interaksionisme simbolik, content analysis sebagai pendekatan, pen.). Atau paling tidak fenoemnologi dipandang mengganggu teori sosiologi yang telah ada yang telah berlaku secara konvensional dalam penelitian. Namun dalam perkembangannya, fenomenologi dipandang sebagai tambahan atau bagian yang integral dalam disiplin (sosiologi). Pandangan demikian ini karena fenomenologi memberi sumbangsih senjata analisis (an useful analytic tools) yang bermanfaat untuk mengimbangi pendekatan kaum obyektivis atau pendekatan obyektivis.
3. Senjata analisis yang diajukan oleh fenomenologi adalah metode introspektif dan metode verstehen untuk usaha membuat deskripsi secara detail tentang bagaimana kesadaran itu berproses. Introspeksi membuka peluang bagi sarjana fenomenologi menggunakan proses kesadaran diri sebagai pengalaman diri menjadi bahan dan rujukan penafsiran dan penjelasan. Sementara verstehen menganjurkan peneliti `bersikap empati dalam upaya memahami pikiran orang lain.
4. Prosedur kerja fenomenologi relatif berbeda dari sosiologi konvensional. Fenomenologi menjelaskan premis-premis melalui analisis deskriptif tentang prosedur diri (procedures of self), keadaan sosial dan situasi. Melalui penjelasannya ini, pihak lain memahami bahwa fenomena kehidupan sosial bermula dari kesadaran diri manusia yang memberikan pengalamanaa sebagai ciri dari dunia kehidupan.
5. Apa yang dikehendaki dengan “prosedur diri” adalah prosedur aktivitas kesadaran diri dalam berbagai keadaan sosial dan situasi sosial. Di atas premis ini muncul konsep-konsep fenomenologi tentang peran diri, diri dalam situasi dan lingkungan yang menjadi latar belakangnya, kesadaran diri terhadap peran yang berbeda-beda, status yang berbeda-beda, kesadaran berkomunikasi dengan pihak lain, kesadaran berbahasa, kesadaran diri untuk memahami pihak lain, memberikan perhatian terhadap wawasan pihak lain, kesadaran diri dalam perjalanan waktu dan keasadaran diri berada dalam suatu tempat tertentu, dstnya. Dari premis “prosedur diri” itu juga lahir konsep inner time consciousness. Istilah ini agak sulit diterjemahkan ke Indonesia. Namun yang dikehendaki dengan inner time consciousness adalah suatu pengalaman atau beberapa pengalaman yang disadari yang memberikan kesan yang amat mendalam ke dalam kedasaran batin yang amat dalam, baiuk pengalaman itu telah berlalu atau sedang dialami. Prosedur diri adalah berada dalam proses melalui berbagai cara apakah relasi, interaksi atau dialog
6. Tugas sentral fenomenologi sosial adalah menjelaskan interaksi timbal balik di antara sesama manusia melalui suatu atau dalam suatu proses, dalam struktur situasi dan konstruk realitas. Fenomenologi tidak menggunakan aspek-aspek sebagai faktor kausal Fenomenologi berpandangan bahwa semua dimensi sebagai kondisi latar yang memberikan sumbangsih terhadap realitas yang terjadi.
7. Kaum fenomenologi menganalisis realitas sosial yang ada dengan memanfaatkan konsep-konsep pengetahuan yang memberi sumbangsih terciptanya kondisi sosial .
8. Fenomenologi menegaskan bahwa kehidupan manusia itu berada di dalam dunia intersubyektivitas. Mereka saling berada dalam realitas bersama. Fenomenologi juga mengajarkan bahwa semua kesadaran manusia memiliki dimensi praktis. Dari dalam kesadaran lalu diaktualisasikan dalam tindak ucapan atau tindak perbuatan.
9. Pemahaman secara fenomenologi bahwa masyarakat merupakan konstruk rancangan manusia yang mudah terpecah dan jarang dapat dipulihkan dengan ide-ide yang abstrak.
Wikipedia the free encyclopedia menurunkan tulisan dengan tema “phenomenological Sociology. Beberapa pokok isinya, sbb;
1. Sosiologi fenomenologi mengkaji struktur konkrit eksistensi
. sosial melalui analis deskriptif tentang struktur kesadaran yang berkarakter memiliki arah atau mengarah ke. Seperti telah kita ketahui bahwa kesadaran psikis manusia memiliki sejumlah aktivitas; Pertama-tama aktivitas yang bersifat mendasar yakni ‘intensionalitas’, yakni mengarahkan kesadaran diri kepada obyek. Ketika obyek luar diri hadir ke dalam kesadaran, muncullah aktivitas-aktivitas lainnya; persepsi, imajinasi, interes, memikirkan, signifikansi, menafsirkan dll. Obyek yang akan dianalisis secara deskriptif adalah dunia kehidupan sehari-hari yang kandung makna di dalamnya. Dunia kehidupan atau “life-world atau lebenswelt. Inilah yang membedakan deskripsi fenomenologi dari deskripsi yang dilakukan oleh “the man in the street”
Edward A. Tiryakin menulis dengan tema “Sociology and Existential Phenomenologi”. Bebrapa pokok isinya sbb:
1. Dua tema sentral fenomenologi adalah kesadaran dan dunia,
2. Terkait dengan dunia (yakni dunia yang menjadi obyek ilmu baik ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu sosial humaniora) Husserl menggambarkan metode analisis penelitian adalah meneliti tentang bagaimana kesadaran – melalui proses reduksi fenomenologis- memberikan arahan untuk langsung memahami dunia sebagai fenomena. Persoalan fenomena tidak sebatas fenomena sebagai realitas faktual yang dalam luar diri manusia yang berkesadaran melainkan juga fenomena yang imanen terdapat di dalam kesadaran yakni struktur-struktur kesadaran. Dengan demikian, analisis fenomenologi tidak sebatas “cogito” (memikir) melainkan kesadaran, dunia yang disadari kemudian kesadaran itu memberi dorongan untuk memahami dunia. Tentu yang dipahami adalah makna yang tersembunyi di balik dunia dan sesuai dengan sudut pandang dan minat subyek yang tidak hanya cogito melainkan subyek atau ego yang transenden. Karakteristik Ego yang transenden adalah tidak sebatas melihat fakta lalu menyampaikan fakta itu secara apa adanya. Cara kerja semacam itu oleh fenomenologi disebut sebagai persepsi berfikir imanen atau inner perception. Ego transenden ditengarai ada usaha menembus kaki langit dunia immanen-empirik-faktual melesat memasuki duia transenden ditengarai dengan usaha memberikan penjelasan, komentar, penafsiran, merumuskan hipotesis atau mengkonstruk teori. Model ini tidak hanya sebatas mengatakan apa adanya, tetapi ada usaha memahami apa yang tersembunyi di balik dunia, menemukan esensi yang tersembunyi di dalam fakta empirik.
3. Fokus fenomenologi adalah subyektivitas diawali dari penelitian terhadap struktur-struktur kesadaran. Bagi fenomenologi, kesadaran bukan sesuatu yang sekedar ada, bukan faktor yang tidak relevan dengan dalam permainan kebenaran ilmiah dalam realitas empirik. Kesadaran adalah aspek utama dari realitas itu. Kesadaran merupakan sesuatu yang tidak pasif, sekedar menerima stimuli (a receptor of stimuli). Kesadaran adalah self-diri di dalam subyektivitasnya yang bergerak mengarah ke luar diri.
4. Aktivitas kesadaran adalah kesadaran terhadap sesuatu. (an act of consciousness is always consciosness of sometings). Ini yang juga disebut dengan postulat intensionalitas fenomenologis .
Selanjutnya penulis turunkan tulisan James A. Holstein dan Jaber F. Bubrium, “Phenomenology, Ethnomethodology and Interpretive Practice” sebagai di bawah ini :
1. Praktek penafsiran dalam fenomenologi itu dengan menggunakan sejumlah asumsi subyektivis tentang pengalaman hidup dan tertib sosial. Penggunan asumsi subyektif ini berasal dari Alfred Schutz. T.D Wilson menyebut dengan postulat subyektif. Bandingkan dengan kaum hermenutika yang menyatakan bahwa penafsiran itu bersifat subyektif karena memang berangkat dari diri subyek.
2. Husserl menegaskan bahwa hubungan antara persepsi dengan obyeknya tidak bersifat pasif. Alasan yang dia kemukakan bahwa watak kesadaran manusia itu aktif setelah menerima kehadiran obyek masuk ke dalam kesadarannya.
3. Dari pandangan Husserl itu, Schutz mengembangkan bahwa para anggota masyarakat yang hidup di dalam realitas sosial secara terus menerus membentuk dunia kehidupan mereka sehari-hari. Mereka ikut serta memberi warna di dalam kehidupan sosial sebagai realitas intersubyektif.
4. Schutz meneruskan bahwa jika kesadaran manusia diaktifkan dalam kehidupan sehari-hari atau ditipifikasikan, maka bahasa menjadi kedium sentral untuk tranformasi tipifikatif dan karena itu ada makna yang dapat ditemukan dalam tipifikasi (baca, pergaulan sehar-hari). Keadaan ini memberikan orientasi metodologi bagi fenomenologi tentang kehidupan sosial dengan memberikan perhatian lebih kepada relasi antara bahasa yang digunakan dengan obyek pengalaman. Dengan demikian maka fenomenologi sosial dilandaskan atas ajaran bahwa interaksi sosial adalah rancang bangun sepanjang di dalamnya memuat makna yang dapat diuangkap.
5. Pada akhirnya Schutz mencatat bahwa fakta keseharian kita (diri dan orang lain) dalam penggunaan bahasa dan tipifikasi itu menciptakan makna (create a sense) bahwa dunia kehidupan (life-world) adalah substansial; bahwa dunia itu ada di sana terpisah dari pemahaman kita.
6. Fenomenologi sosial Schutz bermaksud agar ilmu sosial yang seharusnya menafsirkan dan menjelaskan tingkah laku dan pikiran manusia denngan cara mendeskripsikan struktur-struktur realitas yang fundamental yang tampak sebagai self evident (baca, bukti yang tek terbantahkan) akan tetap berada dalam “natural attitude”
Mengakhiri bahasan fenomenologi, penulis turunkan tinjauan sejarahnya secara ringkas. Tinjauan ini ditulis oleh David Bidney “Phenomenological Method and The Anthropological Science” of the Cultural Life-World”. Tulisan di atas juga dimuat dalam buku antologi John Wild.
Tinjauan sejarah Bidney tersebut penulis ringkas sbb;
1. Terma fenomenologi berasal dari tulisan Immanuel Kant yang membedakan antara “fenomena” dan “nomena. Kant menyatakan bahwa phenomena adalah things in them selves independent of consciousness; fenomena adalah sesuatu yang ada di alam dirinya sendiri yang independen darfi kesadaran.
2. Istilah fenomenologi ini untuk pertama kalinya digunakan oleh Hegel (filsuf Jerman setelah Kant). Menurut Hegel, fenomenologi mengungkap hakekat realitas secara atau melalui proses dialektika (tesa-antitesa-sintesa). Hakekat relaitas oleh Hegel juga disebut juga dengan “absolute Being” atau “spirit”. Salah satu karyanya yang terkenal adalah “Phenomenology of Mind”. Ide sentral dari buku ini adalah memaparkan evolusi mental-spiritual manusia melalui kajian empirik-historik.
3. Fenomena sejarah dan budaya selalu berhubungan dengan kesadaran dan sekaligus sebagai fungsi kesadaran, bahwa kesadaran punya fungsi di dalam fenomena sejarah dan budaya
4. Perkembangan sejarah dan budaya oleh Hegel ditafsirkan sebagai self-revelation (karya diri) melalui kesadaran manusia. Semua pengalaman manusia adalah pengalaman budaya yang diperoleh melalui perantara Akal (Mind) .
Referensi
Arkava, Morton L & Thomas A. Lane, Designing Social Work Research (Boston, Allyn and Bacon, 1983)
Babbie, Earl, The Practice of Social Research, (California, WadsWorth, 1998).
Brown, Radcliffe, Structure and Function in Primitive Society, New York, The Free Press, , 1981.
Cellia C. Reavers, Quantitative Research for The Behavioral Sciences, (New York, John Willey, 1999)
Cohen, Percy S., Modern Social Theory, New York, The Free Press, 1967
Creswell, John W Research Design Qualitative & Quantitative Approach, (London, SAGE, 1994).
Clifford J. Drew, Designing and Conduncting Research, Inquiry in Education and Social Sciences, (Boston, Allyn & Bacon, 1985)
Denzin, Norman, & Yvonna Lincoln, Handbook af Qualitative Research, (London. SAGE. 1994),
Geoffrey Keppel, Design and Analysis, A Researcher’s Handcook, (New Jersey, Prentice-Hall, 1873)
Giddens, Anthony, Central Problems in Social theory, The Macmillan Press, London, 1979
Gordon, Hamilton, Theory and Practice of Social Case Work, (New York, Columbia Univerrsity Press, 1940.
Hillway, IntroductionTo Research, (Boston, Houghton Mifflin, Co., 1956)
Kidder Louise H. and Charles M. Judd, Research Methods in Social Relations, (New York, CBS College, 1987).
Lazarfeld and Rosernberg, The Language of Social Research, New York, The Free Press, 1955.
Marshall, Caterine dan Rossman, Gretchen, Designing Qualitative Research, (London, SAGE, 1994).
Merton, Robert K., Social Theory and Social Structure, New York, The Free Press, 1967
Renata Tesch, Qualitative Research: Analysis, Types and Software Tools, (New York, Falmer Press, 1996)
Robert K. Yin, Case Study Research, Design and Method, (London, SAGE, 1989)
Tesch, Renata, Qualitative Research, Analysis Types and Software Tools, (New York, The Falmer), 1995.
Weber, Robert Philip, Basic Content Analysis, (London, SAGE Publications), 1990
Wild, John, (eds.), Phenomenology and The Social Sciences, vol. I, cetakan ke 2, (Evanston-USA, Northwestern University Press), 1989.
Minggu, 07 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
sangat mencerahkan, mohon ijin copy...
BalasHapus