Minggu, 07 Februari 2010

PENDEKATAN KUALITATIVE


Pengantar
Istilah pendekatan, (approach)pada bab ini penulis pinjam dari Creswell dalam karyanya “Qualitative & Qualitative Approach”. Istilah pendekatan juga digunakan William C. Levin dalam karyanya, Sociological Ideas”, sementara Renata Tesch dalam “Qualitative Research, Analysis Types and Software Tools”, menggunakan istilah riset kualitatif dan membagi riset menjadi riset kuantitatif dan riset kualitatif. Secara historis usia riset kualitatif sama tuanya dengan ilmu sosial; sosiologi dan antropologi. Pada tahun 1842 lahir sosiologi oleh Auguste Comte Pada 1871, antropologi tumbuh dewasa sebagai suatu disiplin ditandai oleh karya Edward Tylor “Primitive Culture” dan pada 1878, lahir disiplin psikologi oleh William James. Pendidikan sebagai suatu disiplin lahir pada abad dua puluh. Terjadi perdebatan sekitar dua displin besar, “ilmu-ilmu kealaman” versus “ilmu-ilmu kemanusiaan termasuk di dalamnya ilmu-ilmu sosial”. Apakah metode untuk ilmu-ilmu kemanusiaan (human sciences) harus mengadop metode untuk ilmu alam ataukah dia harus menggunakan metode yang khas (sui generis) yang secara obyektif lebih tepat. Dalam psikologi, Abraham Maslow dipandang sebagai salah satu figur pendiri “humanistic psychology”. Karyanya yang terkenal dipublikasikan pada 1966 berjudul “The Psychology of Science distinguished between a mechanistic science and a humanistic science”. Ilmu yang mekanistik tidak salah akan tetapi terlalu mempersempit diri dan terbatas . Renata melanjutkan, dalam perkembangannya, psikologi mengadop fenomenologi, suatu aliran filsafat, untuk studi jiwa. Ilmuwan perinits psikologi fenomenologi adalah Amedeo Giorgi. Serial bukunya diterbitkan dengan judul “Duquesne Studies in Phenomenological Psychology”. Berikutnya, Giorgi mewujudkan gagasannya mengadakan konferensi tahun 1983 dengan tema “human science research”.
Carl Rogers menjembatani disiplin psikologi dengan pendidikan. Pengaruhnya yang kuat terhadap para pendidik sejak 1960 an membuatnya melakukan gerakan pembaharuan mempersiapkan satu suasana untuk menerima riset non positivistik dalam disiplin pendidikan . Demikianlah selanjutnya disiplin ini makin berkembang ditandai dengan berbagai varian pendekatan; fenoenologi, antropologi, etnografi, serta penelitian dengan bantuan teori sosiologi.
Istilah Kualitatif
Sebelum istilah “kualitatif” dipakai secara umum, demikian Renata Tesch dalam bukunya (1995; 14) pada bab “ Qualitative Research in Sociology”, mengatakan bahwa para ilmuwan sosiologi yang tidak tertarik terhadap riset eksperimen dan survei model kuantitatif telah melakukan aktivitas penelitian. Mereka menyebut aktivitas yang mereka lakukan adalah “fieldwork” dan jika ditanya tentang pendekatannya, mereka menjawab, “antropologi”. Kebanyakan para peneliti ini tergabung dalam apa yang dikenal dengan “Chicago School” (mungkin berarti “madzhab Chicago). Chicago adalah Universitas pertama di Amerika yang memiliki jurusan Sosiologi meski belum seperti pengertian saat ini. Sosiologi Amerika banyak dipengaruhi oleh antropologi sosial Inggris. Jurusan sosiologi saat itu disebut dengan “jurusan ilmu sosial dan antropologi. Figur yang menjadi sentral adalah Robert Park.
Salah satu contoh klasik penelitian dengan fieldwork adalah apa yang dilakukan oleh Bronislaw Kasper Malinowski (1884-1942), mahasiswa Jagelloni dan LSE (London School of Economics tahun 1910-1916. Pada 1921 dia diangkat sebagai dosen tamu di perguruan itu. Tahun 1922 meraih gelar doktor kemudian diberi jabatan sebagai ketua jurusan antropologi sosial tahun 1927. Dia mengampu mata kuliah agama primitif (primitive religion), dan diferensiasi sosial serta psikologi sosial. Data lain menyebutkan bahwa sebelum masuk LSE dia telah menekuni matmeatika, fisika dan filsafat di Universitas Jagellonian dan meraih gelar doktor bidang filsafat di Unversitas ini. Setelah itu dia meninggalkan tempat kelahirannya, Krakow, Polandia untuk masuk ke LSE. Di sini dia mempelajari antropolgi.. Karena itu dia dikenal sebagai ahli antropologi Inggris sekaligus sebagai salah satu ilmuwan yang membangun teori fungsionalisme di dalam ilmu-ilmu sosial “the founders of functionalism in the social sciences”, Pendekatan antropologi didasarkan pada fungsionalisme guna menjelaskan budaya. Fungsionalisme menjelaskan makna, fungsi serta maksud yang ada pada elemen-elemen di dalam satu sistem sebagai keseluruhan; “functionalism ascribes meaning, function, and purpose to the elements within a whole. Culture defines that whole and it constitutes the entity in which the various functional elements act and are interdependent” . Sebagian pendapat menyebut bahwa dia adalah pendiri madhzhab fungsionalisme di dalam antropologi sosial, atau sebagai bapak antropologi sosial.
Selama ekspedisi di pulau Trobriand tahun 1915-1918, dia menciptakan model baru yang bersifat revolusioner dan berstandard modern tentang “kerja lapangan etnografi (ethnographic fieldwork) melalui cara participant observation; yakni sebuah proses di mana dia telibat dalam kehidupan masyarakat yang diteliti dengan cara hidup bersama di dalam lingkungan mereka dan mengkaji bahasa dan kebudayaan mereka .
Percy S. Cohen dalam bukunya menguraikan pokok-pokok teori fungsionalisme Malinowski mencakup awal munculnya formulasi, ide dasar, dan asumsi

a. Formulasi awal

His first formulation of the functionslist doctrine appeared after he had carried out ethnographic fieldwork amongst the Australian Aborigin and Trobrian island.

(Rumusn awalnya (oleh Malinowski) tentang teori fungsionalisme muncul setelah dia melakukan penelitian fieldwork etnografi di suku Aborijin Australia dan di pulau Trobriand).

b. Ide dasar

The fundamental idea is; if one wishes to understand a particular culture item, one does so by referring. to some general principle of human conduct and some other items in the same society which provide the context within which the particular item occure. For example, if one wishes to explain. For example, why a Trobriand man makes payment in kind to his sister's husband .

(Ide dasarnya adalah, jika seseorang ingin memahami item budaya tertenu, maka dia harus merujuk kepada beberapa prinsip umum tingkah laku dan beberapa item lainnya yang khas yang hidup di dalam masyarakat tersebut. Contoh, mengapa lelaki suku Trobrian memberi tali asih kepada saudari suaminya).


c. Asumsi


All men have certain primary need for food, shelter, sexual, protection etc. They meet these by devising techniques for growing, finding and distributing food, erecting dwelling establishing relations and banding together. For satisfying these needs creates secondary needs; language; norm, the need to control conflict and promote cooperation given rise to norms of reciprocity and social sanction. The satisfaction of these secondary needs given rise the need for coordinative institution, the need for rules of succession, the mechanism of legitmation of authorit…, the need for developing the skill and intellectual capacity through education... The need for any cultural item is as much as a consequence of its existence .
He insists that every cultural item must have function, that is, it exists because it meets some present need .

“semua manusia memiliki kebutuhan primer. Mereka memenuhi kebutuhan ini dengan bertani, mencari penghasilan, dan mendistribusikan hasil panen, butuh tempat tinggal, membangun relasi dan kebersamaan. Untuk memenuhi kebutuhan ini mereka ciptakan kebutuhan sekunder; butuh bahasa untuk komunikasi, butuh aturan-aturan dan norma. Untuk mengontrol konflik dan memantapkan kebersaman mereka membutuhkan adanya institusi; adanya insttusi membutuhkan adanya aturan-aturan suksesi, mekanisme suksesi yang legitimate tentang otoritas dstnya…. Dia kemudian menegaskan bahwa setiap item budaya memiliki fungsi. Item budaya itu eksis karena ia memenuhi kebutuhan”.

Dalam melakukan fieldwork – yang kemudian dikenal menjadi penelitian kualitatif-, di pulau Trobriand, Malinowski menggunakan observasi partisipan. Dia berupaya memahami cara hidup penduduk pulau itu secara fungsional, yakni bagaimana mereka berkreasi dan mempertahankan masyarakat mereka. Menurut Clifford J. Drew “Qualitative method rooted in anthropology ; akar metode kualitatif dari antropologi.
Figur lain yang juga melakukan penelitian dengan “fieldwork adalah Radcliffe Brown, sarjana yang dipandang sebagai pendiri fungsionalisme-struktural. Brown (1881-1955) lahir di Birmingham, ahli dalam antropologi sosial Inggris yang mengembangkan teori struktural-fungsionalisme. Dia melakukan fieldwork di pulau Andaman, Australia (1906-1908) serta di Australia barat. Dia selalu dikaitkan dengan fungsionalisme, namun dia lebih dipandang sebagai pendiri struktural fungsionalisme. Sebelumnya, Malinowski telah merumuskan fungsionalisme yang menjelaskan prilaku manusia itu berfungsi untuk memenuhi kebutuhan biologis, Berbeda dari teori Malinoswki di atas, Brown memandang perilaku manusia itu berfungsi untuk mempertahankan struktur sosial. Brown membuat analisis dan penjelasan tentang cara penanggulangan ketegangan yang timbul di antara orang-orang yang terikat perkawinan. Untuk mengurangi timbul ketegangan antar orang yang mempunyai hubungan kekerabatan karena perkawinan, masyarakat dapat melakukan satu dari dua poin. Pertama dibuat aturan yang ketat. Di suku Indian Navajo, menantu laki-laki dilarang bertemu muka dengan mertua perempuan. Yang kedua, hubungan kekerabatan dianggap sebagai tak lebih dari kelakar . Dalam fungsionalisme Brown, perkawinan tidak dipandang sebatas fungsi memenuhi kebutuhan biologis melainkan juga berfungsi menjaga stabilitas kekeluargaan sebagai struktur. Tegasnya, teori fungsionalisme Brown berbeda dari Malinowski yang hanya hanya menjelaskan fungsi perkawinan sebatas memenuhi kebutuhan bilogis. Fungsi ini memang tidak salah. Namun Browsn, memberikan penjelasan lain bahwa perkawinan juga berfungsi menjaga struktur.kekerabatan terjaga dan terpelihara kualitas ekuilibrinya sehingga tidak terganggu dan tergoncang. Karena itulah Brown dipandang sebagai pendiri teori fungsionalisme-struktural. Fungsi sebuah aktivitas sosial atau fungsi satu item budaya dijelaskan dalam konteks struktur. Dari teori fungsionalisme-strktural muncul hipotesis “jika salah satu unit dalam sebuah struktur diberi fungsi yang berlebihan , maka akan berpengaruh pada unit-unit yang lain, atau jika satu unit diberi rangsangan yang berlebihan, maka akan berpengaruh pada unit-unit lain dan dapat membuka terjadinya ketegangan. Seorang pembantu rumah tangga, berfungsi membantu jenis-jenis pekerjaan ibu rumah tangga. Ini tidak salah, tetapi jika dia diberi fungsi yang berlebihan atau diberi rangsangan yang berlebihan, dapat memunculkan kecenderungan terjadi ketegangan secara struktural dan mengancam stabilitas struktur rumah tangga.
Dalam wikipedia diterangkan demikian, “funtional analysis was just the attempt to explain stability by discovering how practice fit together to sustaine that stability. The function of practice was just its role in sustaining the overall social structure .Analisis fungsional adalah usaha menjelaskan stabilitas dengan mengungkapkan bagaimana perilaku praktis digunakan bersama untuk mempertahankan stabilitas. Fungsi dari perilaku praktis ada pada peranannya di dalam mempertahankan struktur sosial.


Era kejayaan Chicago school antara 1930-1950. Kemudian sempat menurun –diduga disebabkan oleh menguatnya trend riset kuantitatif - sebelum bangkit lagi pada era 1960-an. Pada masa kebangkitan ini ditengarai ada dua kelompok yang punya orientasi berbeda; yakni kelompok “small group studies” dan yang lainnya adalah “large community survey”. Gejala yang penting dari masa ini adalah terjadi perubahan di dalam internal komunitas ilmuwan untuk memberi perhatian terhadap epistemologi.
Setelah 1960 an, arah riset – dalam hal ini- riset kualitatif mengalami perkembangan yang mengarah kepada kemapanan. Selain “grounded theory”, yang diperdebatkan, dan secara definitif tidak memiliki tingkat penjelasan yang gamblang, arah riset adalah, etnometodologi, interaksi simbolik dan etnografi holistik. Di Amerika, etnografi berkembang menjadi etnografi struktural dan etnoscience (atau etnografi kognitif) .
Arah penelitian sosiologi yang lebih cenderung ke kualitatif dapat kita tangkap dari uraian Arthur J. Vidich dan Stanford M. Lyman (1994; 23) Dalam “ Qualitative Methods, Their History in Sociology and Anthropology”. Misi sosiologi modern, demikian mereka menyatakan adalah menganalisis dan memahami:
a). pola-pola tingkah laku dan proses sosial yang terjadi dalam masyarakat.
b). nilai-nilai dan sikap-pandang yang menjadi fondasi bagi kehidupan sosial . Setelah membuat penjelasan misi sosiologi secukupnya, mereka menekankan perlunya satu penjelasan yang membedakan antara cara kerja para sosiolog yang ilmiah (scientific sociologists) dengan para novelis, puitis dan para artis . Untuk Memenuhi missi ini, sosiolog seharusnya,
1. Mampu memahami dan menjelaskan kontekstual antara dunia sosial dengan pengalaman dirinya (utamanya pengalaman ilmiah) serta punya kapasitas memproyeksikan konseptualisasi yang bersifat meta-empirik ( teoritis) tentang kehidupan dan institusi sosial. Meta empirik dapat diartikan sama dengan konsep “metafisik”; yakni sesuatu di balik benda-benda fisik di antaranya adalah konstruk teori seperti gravitasi, dan kinetik atau konsep-konsep ilmiah semisal H2 O. Kegunaannya untuk mempermudah komunikasi dalam masyarakat ilmiah..
2. Mampu melepaskan diri dari nilai-nilai dan interes-interes subyuektif tertentu guna mencapai level pemahaman yang tidak a priori.
3. Secara personal dan sosial dapat mengambil jarak dan membebaskan diri dari norma-norma yang berlaku (dalam masyarakat obyek penelitian) supaya dapat menganalisis secara obyektif . Poin ini masih terkait dengan poin sebelumnya tentang interes. Interes adalah kepentingan praktis pragmatis seseorang yang hidup bersama dan sesama dalam suatu masyrakat atau organisasi. Tidak seperti seorang warga atau anggota dalam sebuah organisais, seorang peneliti harus mampu menjaga jarak subyektif obyektif karena dia memang tidak memiliki interes pribadi yang bersifat praktis sepertri anggota masyarakat yang diteliti. Peneliti Dalam penelitian sosiologi, peneliti harus menempuh proses eksternalisasi guna menjaga jarak. Ini sebaliknya dengan penelitian antropologi. Misalnya., penelitian terhadap suku pedalaman atau suku asing. Dalam penelitian ini, peneliti harus menempuh proses internalisasi. Dia harus dapat menjadi bagian dari suku itu, dia berbahasa dengan bahasa yang mereka gunakan, dia bertingkah laku sebagaimana adat yang berlaku dalam msyarakat suku itu. Proses mengeksternal atau proses menginternal adalah bagian dari penelitian. Namun dalam dua proses itu seorang peneliti tetap dituntut memiliki kerangka kerja ilmiah yang dalam wataknya bersifat tertutup dan sistematis.
Dari sisi sosiologi, Renata (1995; 9-10) menyebut usia riset kualitatif ini sama tua dengan ilmu sosial yang lahir pada 1842 oleh Auguste Comte sebagai bapak pendiri disiplin sosiologi . Dalam disiplin antropologi, sebelum Malinowski (1884-1942) adalah Edward B. Tylor (1832-1917) menggagas teori evolusi.Menurut teoriini, kebudayaan berkembang dari level sederhana menjadi komplek dan bahwa semua masyarakat menempuh tiga tahap evolusi, yaitu tahap liar (savage), barbarisme dan akhirnya tahap peradaban atau civilisation.Tylor juga menjelaskan bahwa unsur-unsur budaya mungkin tersebar dari satu masyarakat ke masyarakat lain dengan cara yang dia sebut dengan “difusi”, demikian kutip Carol Ember dan Malvin Ember (1984; 54) . Tokoh teori evolusi lainnya adalah Lewis H.Morgan. Setelah itu datang Malinowski, sang perintis teori fungsionalisme. Dia tidak tertarik pada teori evolusi dan difusi. Dia juga tidak mengaplikasikan teori ini untuk penelitian lapangan di suku Aborijin Australia dan di pulau Trobrian. Dalam perkembangannya, ternyata teori fungsionalisme lebih memperoleh respons daripada teori evolusi dan teori difusi.

Riset kualitatif.
Pemahaman secara konvensional menyatakan bahwa data riset kualitatif tidak berupa angka melainkan kata-kata. Kata-kata merupakan bagian dari bahasa. Ada dua cara kajian bahasa; bahasa sebagai struktur dan bahasa sebagai (sistem) komunikasi. Sebagai struktur, bahasa dikaji dari sisi tatabahasanya, sintaksisnya, semantik, semiotik dan sisi pragmatis dan ungkapan (phrase) yang terdapat di dalam sistem budaya dalam satu masyarakat tertentu semisal, “tangan besi, kaki tangan, tangan kanan, panjang tangan, buah bibir, buah hati, buah pikiran, buah dada; membabi buta, kebo gupak ajak-ajak, ojo melu kebo gupak, kebo nantang pasangan, kebo nyusu gudel, ajining rogo ono busona, ajining diri ono ing lati (lisan), njunjung dhuwur mendhem jeru. Kaum antropolog banyak yang memberikan perhatian terhadap ungkapan-ungkapan budaya tertentu dari masyarakat yang diteliti.
.
Minat riset bahasa
1.Bahasa sebagai komunikasi:
1). Menekankan pada isinya (its content),
2). Menekankan pada prosesnya.
2. Bahasa sebagai cermin budaya;
1).tekanan penelitiannya terhadap struktur kognitif (rasional, primitif, tekkstual reliji, cenderung paranormal, emosional, rasis dll),
2). Penelitian menekankan pada proses interaksi (fungsional, exchange yakni saling tukuar menukar konsep atau ide, dialogis, bottom up, up down, terkesan memaksakan, menekan, mendominasi.

Surabaya, 08-02-2010, a. khozin afandi

Referensi

Babbie, Earl, The Practice of Social Research, (California, WadsWorth, 1998).

Brown, Radcliffe, Structure and Function in Primitive Society, New York, The Free Press, , 1981.

Carol R. Ember dan Malvin Ember, “Teori Dan Metode Antropologi Budaya”, dalam Ihrami, (ed.), Pokok-Pokok Antropologi Budaya, (Jakarta, Gramedia, 1984) , 54

Cellia C. Reavers, Quantitative Research for The Behavioral Sciences, (New York, John Willey, 1999)

Cohen, Percy S., Modern Social Theory, New York, The Free Press, 1967

Creswell, John W Research Design Qualitative & Quantitative Approach, (London, SAGE, 1994).

Clifford J. Drew, Designing and Conduncting Research, Inquiry in Education and Social Sciences, (Boston, Allyn & Bacon, 1985)
Denzin, Norman, & Yvonna Lincoln, Handbook af Qualitative Research, (London. SAGE. 1994),
Geoffrey Keppel, Design and Analysis, A Researcher’s Handcook, (New Jersey, Prentice-Hall, 1873)
Giddens, Anthony, Central Problems in Social theory, The Macmillan Press, London, 1979
Gordon, Hamilton, Theory and Practice of Social Case Work, (New York, Columbia Univerrsity Press, 1940.
Hillway, IntroductionTo Research, (Boston, Houghton Mifflin, Co., 1956)

Kidder Louise H. and Charles M. Judd, Research Methods in Social Relations, (New York, CBS College, 1987).
Lazarfeld and Rosernberg, The Language of Social Research, New York, The Free Press, 1955.
Marshall, Caterine dan Rossman, Gretchen, Designing Qualitative Research, (London, SAGE, 1994).
Merton, Robert K., Social Theory and Social Structure, New York, The Free Press, 1967

Renata Tesch, Qualitative Research: Analysis, Types and Software Tools, (New York, Falmer Press, 1996)
Robert K. Yin, Case Study Research, Design and Method, (London, SAGE, 1989)
Tesch, Renata, Qualitative Research, Analysis Types and Software Tools, (New York, The Falmer), 1995.
Weber, Robert Philip, Basic Content Analysis, (London, SAGE Publications), 1990
Wild, John, (eds.), Phenomenology and The Social Sciences, vol. I, cetakan ke 2, (Evanston-USA, Northwestern University Press), 1989.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar