HERMENEUTIKA 3
TAFSIR MAKNA (MEANING)
A Penafsiran.
Bab ini membahas beberapa konsep praktis dan aplikatif untuk penelitian dengan pendekatan hermeneutika. Beberapa ilmuwan hermeneutisi yang penulis pilih dalam kesempatan ini antara lain Schleiermacher, Emilio Betti, Paul Ricoeur dan Gadamer.
1. Scheliermacher
Schleiermacher menawarkan dua konsep penafsiran yakni:
a. grammatical interpretation dan
b. technical or psychological interpretation.
Penafsiran gramatikal adalah penafsiran segi kebahasaan, jenis bahasa, struktur dan makna yang tepat dalam kalimat dan stilenya; prosa, puisi, narasi. Penafsiran ini terkadang disebut juga dengan penafsiran obyektif; Penafsiran psikologis disebut pula dengan penafsiran teknik, yakni penafsiran terhadap individu pengarangnya, Penafsiran psikologis atau teknik ini dipusatkan pada individu pengarang. Schleiermacher menyebutnya sebagai penafsiran divinatory. Dua macam penafsiran itu menu`rut `Schleiermacher saling melengkapi. Gadamaer menamakan cara penafsiran psikologis ini adalah divinatory method, atau the method of divination (Bleicher, 1980;1`4-15) . Secara bahasa, divination, berarti upaya memenemukan hal-hal yang tersembunyi atau mencari kejelasan dari sesuatu yang dipandang masih sama-samar. Metode divinasi adalah kegiatan melacak karakter pengarang, sisi ntelektual dan spiritualnya dan menemukan pemikirannya yang bersifat khas miliknya. Dalam bahasa Ricoeur, metode divinasi bertujuan menemukan the singularity of the writer's message , yakni kekhasan dari pandangan penulis atau pengarang.
Untuk penafsiran kebahasaan, Schleiermacher mengembangkan empat puluh empat kaidah, namun dari jumlah itu hanya dua kaidah yang bertahan sampai saat ini. Dua kaidah itu adalah:
1. Everything that needs a fuller determination in a given text may only be determined in reference to the field of language shared by the author and his original public,
“Segala sesuatu yang membutuhkan kepastian makna yang lengkap yang terdapat dalam suatu teks haruslah merujuk kpada bahasa yang digunakan bersama oleh author dan masyarakat aslinya, the original public”.
2. The meaning of every word in a given passage has to be determined in reference to its coexistence with the other wods surrounding it. (Bleicher, 1980; 15)
“untuk menemukan kejelasan makna dari suatu kata yang terdapat dalam suatu ayat atau kalimat harus merujuk kepada kata-kata yang bersamanya yang ada di sekitarnya”.
Bleicher tidak menjelaskan siapa yang dimaksud dengan "original public". Dia juga tidak memberi komentar apa-apa tentang "original public". Keadaan ini, tentu, membuka ruang kosong masuknya daya kreativitas kita berusaha mendeskripsikan konsep itu. Misal, ini untuk dunia Islam, Nabi Muhammad saw menggunakan bahasa Arab baik untu wahyu al-Quran dari Allah SWT maupun hadis. Original public penerima pesan juga masyarakat yang basis bahasanya adalah Arab; bahasa yang sama yang digunakan oleh Nabi Muhammad saw. Nabi Nuhammad dan para sahabat adalah original public karena mereka memang asli dilahirkan dalam daerah yang basis bahasanya bahasa Arab. Pertanyaan yang mungkin muncul, apakah itu terbatas pada Nabi dan para sahabat atau juga meliput para tabiin, tabi it tabiin, para ulama yang basis bahasanya sama dengan sang autor.
2. Beberapa konsep penafsiran lain;
. - Sharing meaning
Konsep di atas menunjuk kepada makna yang dipakai bersama oleh suatu komunitas atau suatu masyarakat. Mereka juga memiliki pemahaman yang sama terhadap suatu istilah atau kalimat bersama’ seperti "tutuplah pintu". Kata pintu punya makna yang disepakati bersama dalam suatu komunitas tertentu (Warnke, 1987; 43-44) .
Bagi Gadamer, jika makna dari sebuah teks disepakati bersama, maka kesepakatan ini tidak sebatas mengetahui apa kehendak penutur; ia juga tidak sebatas pada kemampuan merekonstruksikannya. Lebih dari itu, penafsir juga dapat memahami makna yang substantif, yakni memahami the subject matter, materi pokok apa yang terkandung dalam teks atau proposisi. Makna yang disepakati itu berarti bahwa makna itu tidak hanya milik seseorang saja tetapi makna itu lebih milik common view atau pandangan umum.(Warnke, 1987; 48) .
. -Shareability
Menurut Hirsch, (Warnke, 1987; 43-44) konsep ini menunjuk kepada dua keadaan. Pertama, bahwa kata-kata di dalam teks dapat digunakan untuk menjelaskan pengertian yang diinginkan oleh pengarang, Kedua, bahwa penafsir dapat menjelaskan bahwa secara faktual memang itulah makna yang dikehendaki pengarang (Warnke, 1987; 48) .
. -Meaning: Sense dan reference
Newton Garver beberapa filsuf Amerika dan Inggris berpendapat bahwa "theory of meaning" harus dibagi menjadi dua; yakni theory of sense, dan theory of reference. Ketika bahasa diekspresikan, dalam suatu kalimat dalam stuasi tertentu mungkin orang bertanya tentang maknanya, tapi juga menanyakan kegunaanya untuk apa (Warnke, 1987; 46) . Misal, dalam suatu situasi tertentu, pimpinan berkata “ jika rakyat menuntut pejabat yang benar-benar bersih, kita akan segera merespons tuntutan mereka.
Pada awalnya adalah Frege, filsuf Jerman yang memilah dua istilah “sense dan reference”. Dia menyatakan, sense adalah penjelasan ideal mengenai apa yang dikehendaki oleh suatu proposisi. Dalam pengertian ini, sense bersifat imanen, sense dipahami dari dalam diri bahasa itu sendiri tidak keluar dari bahasa. Sedangkan referensi adalah nilai kebenaran dari suatu proposisi yang menuntut rujukan pada realitas; referensi menunjuk kepada contoh riel, sesuatu yang di luar bahasa (Ricoeur, 1991; 85) " Dalam bahasa ilmiah, nilai kebenaran (mungkin sepadan dengan teori pembuktian empirik. Sementara Husserl memilah istilah "expression" dan "indication". “Siapakah pejabat yang ditengarai tidak bersih? Apa indikasinya? Siapa yang menentukan bersih atau tidak bersih?
. -Meaning and significance
Tradisi hermentuik juga membedakan antara memahami makna dan memahami signifikansi; understanding the meaning of a text and understanding its significance. . Memahami makna sebuah teks merupakan sebuah proses untuk memperoleh pemahaman yang diharapkan sama dengan apa yang diikehendaki pengarang. Sedangkan signifikansi terkait dengan hal praktis baik kegunaan, interes pribadi atau golongan, atau untuk kepentingan lain. Perbedaan penafsiran terhadap satu konsep dapat muncul dari sisi signifikansinya; Demikianini karena setiap penafsir memiliki latar belakang yang berbeda satu dari lainnya meliputi latar pendidikan, faham politik, profesi, lingkungan sosial budaya. Pada level signifikansi terbuka kemungkinan terjadi perbedaan (Warnke, 1987; 67-68) .
Contoh, ada sabda Nabi Muhammad sa, "man ra' a minkum munkar, fal-yughayyir…"
Apakah ada Sharing meaning, terhadap kata "yughayyir"? apakah ia berari merubah atau merusak? Kata "munkar" kita anggap saja berarti sesuatu perbuatan yang merusak seperti minuman keras karena memang diharamkan Allah baik meminum ataupun menjualnya. Apakah perbuatan yang merusak dan diharamkan ini oleh hadis di atas diminta untuk dirubah ataukah untuk dirusak? Bagaimana cara merubahnya menurut hadis itu? Melalui tangan, atau melalui kekuasaan yang dimiliki apakah kekuasaan yang dimiliki berupa harta, profesi, jabatan atau kemampuan empirik lainnya.yang potensial. Jika “falyughayyir” berarti perintah untuk merubah, maka apa yang layak dikerjakan menurut teks itu adalah upaya merubah perbuatan yang munkar. Sudah tentu tindakan merubah memiliki struktur dan proses yang berbeda dari tindakan merusak. Jadi pada level sense dan referens terkait dengan apa itu perbuatan “munkar” terjadi kesepakatan, namun pada level signifikansi bisa jadi terdapat perbedaan.
2. Emilio Betti:
- Tentang proses penafsiran
Di antara para filsuf hermeneutika, Betti adalah satu dari mereka yang paling banyak sumbangsihnya berkenan dengan aplikasi hermenutik untuk penelitian.
Menurut Betti, setiap aktivitas penafsiran adalah triadic process, yakni proses tiga segi. Yang dimaksud dengan proses tiga segi adalah:
1. obyek yang ditafsirkan; yakni the mind objectivated in the meaning-full forms atau “the mind of the other”. Istilah “the mind objectivated in the meaning-full forms” berarti pemikiran yang diobyektifkan (pemikiran yang dilepas masuk ke ruang obyektif) sehingga pemikiran itu tidak lagi disimpan dalam ruang subyektif.
2. Subyek yang menafsirkan atau “an active thinking mind”.
3. The meaning-full forms sebagai medium atau perantara yang menghubungkan subyek dengan obyek. The meaning-full forms sebagai medium haruslah dibedakan dari “the mind objectivated in the meaning-full forms” yang menjadi obyek kajian.
4. The meaning full forms yang menjadi medium penafsiran merupakan produk entitas supra individual yakni komunitas penutur atau the original public. Produk entitas itu berupa tulisan yang bersifat komentar, memberi kejelasaan, bisa encyklopedia atau kamus. Misal, untuk memahami makna “historis materialis” yang digagas Karl Marx, seorang peneliti mencari medium yang berbahasa sama dengan bahasa yang digunakan oleh Marx.. Ia lebih dahulu mencari dari sumber sekunder berupa komentar atau tulisan-tulisan yang bersifat memberi penjelasan awal tentang konsep itu . Demikian pula halnya jika kita ingin memahami konsep “khilafah”. Sudah tentu medium yang diperlukan medium yang berbahasa Arab.
Di samping sebagai medium, the meaning-full forms juga merupakan pra-kondisi penafsiran.
- Meaning-full forms.
Terjemahan yang dekat dengan istilah tersebut adalah "konsep yang kandung makna. Dahulu Plato menggunakan “forms” identik dengan idea dan general concept. Bleicher (1980; 54) menjelaskan istilah forms dalam pengertian yang luas sebagai struktur yang homogin karena di dalamnya memuat sejumlah unsur yang memiliki relasi satu dengan lainnya serta konteks dengan ide dan gagasan pihak lain(Bleicher, 1980; 54) .
- Objectivation of mind
Dalam teori proses tiga segi, istilah objectivation of mind berarti "the mind objectivated in meaning-full forms, yakni the mind of the others.
Konsep ini menunjuk kepada -pemikiran atau gagasan orang lain yang menjadi obyek kajian
. -Entitas supra individual.
Betti memberi perhatian mengenai hubungan antara kemampuan bahasa dan masyarakat penutur (the community of speakers). Masyarakat penutur adalah entitas supra individual yang memiliki karakter transendental, maksudnya, yakni peluang kevalidan makna produk entitas supra individual ini mencapai tingkat kualitatif diabnding dari produk perorangan. Meaning-full forms dari entitas supra indivual ini juga bertindak sebagai pra kondisi proses penafsiran.
Analisis fenomenologis dan analisis normatif-aksiologis
Betti membedakan antara analisis normatif-aksiologis dari analisis fenomenologis.
Dalam analisis normatif aksiologis, diperlukan kriteria teretntu sebagai standard untuk penilaian. Standard penilaian tidak harus bersumber dari pembuktian empirik, tetapi juga dari keautentikan proposisi. Artinya, sauatu proposisi atau beberapa proposisi itu diterima secara sadar dan dihayati sebagai tata nilai yang dihayati karena ia diyakini memberi arah, tujuan dan bimbingan hidup yang bermanfaat . Penilainini ini tergantung kepada para warga atau anggota yang terlibat dalam proses penghayatan dalam sebuah komuitas tertentu (Bleicher, 1980; 53) .
Kaidah penafsiran
Betti menyusun kaidah penafsiran cukup panjang, demikian dikatakan Bleicher. Dia meringkaskan tulisan Betti yang pada garis besarnya memilah kaidah penafsiran menjadi dua;
1. pertama, kaidah yang berkenaan dengan obyek, dan
2. kedua, kaidah yang berkenaan dengan subyek.
. Kaidah yang berkenaan dengan obyek dipilah menjadi dua:
1. Kaidah tentang otonomi obyek,
2. Kaidah totalitas.
1. Kaidah otonomi obyek.
Kaidah ini berarti bahwa konsep yang kandung makna ditempatkan sebagai sesuatu yang otonom dan harus dipahami sesuai dengan logika yang terkandung dalam teks itu. Konsep tersebut juga terbuka bagi upaya melakukan pengembangan berangkat dari miliknya sendiri, serta kontekstual dengan ide-ide lain sesuai yang dikehendaki oleh konsep itu sendiri. Konsep itu di dalam dirinya memiliki standard hermeneutik yang immanen atau "immanence of the standard of hermeneutics"(Bleicher, 1980; 58) . Misalnya, sebuah konsep itu berbahasa Arab.semisal, konsep dalam tasawuf” tazkiyatun nafsi wa tasfiyatul qalb”; konsep membersihkan hati dan jiwa dari penyakit hati. Apakah konsep ini dapat diekmbangkan mnejadi konsep yang bersifat “common sense’ yakni “membentuk kepribadian”.
2. Kaidah totalitas
Kaidah ini menjelaskan menegenai adanya interrelasi dan koherensi antar bagian-bagian yang terdapat dalam konsep atau proposisi serta menjelaskan adanya saling hubungan dengan konsep yag bersifat whole (Bleicher, 1980; 59) .
Bleicher (1980; 60) menjelaskan bahwa kaidah ini sering berlaku dalam penafsiran terhadap norma hukum, misal, aplikasi norma-norma hukum tertentu mengacu kepada sistem hukum yang berlaku termasuk arah hukum internasional (Bleicher, 1980; 60) .
Kaidah yang berkenaan dengan subyek dipilah menjadi dua:
`` 1. Kaidah tentang aktualitas pemahaman,
2. kaidah keharmonisan pemahaman.
. 1. Kaidah aktualitas pemahaman
Pokok-pokok kaidah ini antara lain:
1). Penafsir tidak bersikap pasif menerima saja melainkan harus merekonstruksi kembali dengan memahami makna yang dikehendaki. Merekonstruksi bukan sekedar mengulang apa adanya. Untukupaya rekonstruksi yang memadai, penafsir memerlukan mediasi dariberbagai sumber apakah sumber sekunder atau sumber-sumber lain yang relevan dan kontekstual sehingga rekonstruksi tersemut memiliki nuansa baru daripada sekedar mengualng ulang.
2). Penafsir harus memiliki kekuatan wawasan. Dalam hal ini, penafsir sebelumnya memiliki basis pengetahuan yang relevan dengan materi pokok yang menjadi pilihan penafsir.
3) Upon Which dari materi pokok yang menjadi pilihan penafsiran penafsir memfokuskan minat penafsirannya terhadap konsep teretntu..
4). Penafsir meneliti kembali proses kreativitas munculnya konsep yang menjadi obyek kajian, menempatkannya dalam peta pemikiran yang telah ada yang relevan semisal, neo-tradisionalisme, neo-modernisme atau post modernisme. Atau mungkin konsep yang sedang dikaji itu merupakan sesuatu yang tipikal dan khas dengan memberikan bukti secukupnya mengenai kekhasannya dan tidak masuk dalam kerangka (peta) pemikiran yang telah ada, demikian Bleicher (1980; 57, 62) .
2. Kaidah keharmonisan pemahaman.
Kaidah ini menyatakan bahwa hanya nalar yang memiliki kesamaan wawasan dengan obyek yang ditafsirkan yang bisa menangkap dan memahami nalar pihak lain yang menjadi obyek penelitian. Menurut kaidah ini, penafsir seharusnya memiliki tingkat kesamaan atau mendekati harmoni dengan konsep yang dikaji sehingga ia tidak berangkat dari tanah kosong, demikian tulis Bleicher (1980 ;85). .
Tipe dan momen penfsiran.
Betti juga memberikan kerangka kerja hermenutik melalui kategori tipe-tipe dan momen penafsiran (Bleicher, 1980; 40-46) .
. 1. Tentang tipe penafsiran
Dia membedakan tiga tipe penafsiran . Sementara untuk momen, dia memilah menjadi empat momen.
Tiga tipe penfsiran itu adalah;
1) penafsiran yang bersifat rekognitif,
2). Penafsirn yang reproduktif,
3). Penafsiran aplikasi normatif.
1. penafsiran yang bersifat recognitive,
Penafsiran ini bersifat memberikan pengakuan; yakni mengakui keabsahan makna yang sudah terpahami secara umum. Misalkan, ada ungkapan dalam bahasa Jawa, "ing ngarso asung tulodo, ing madio mangun karso, tut wuri handayani". Ini merupakan ajaran terkenal dari Ki Hajar Dewantoro tentang jiwa seorang pemimpin. "Ing ngarso asung tulodo" artinya, di depan memberi ketauladanan". Seseorang yang berjiwa pemimpin seandainya dia terpiliah berada di posisi terdepan maka dia memberi tulodo, memberi conoh teladan “Ing madio mangun karsa". Seorang yang berjiwa pemimpin seandainya dia berada posisinya tengah, tidak ditunjuk menjadi ketua, dia tetap membuktikan dengan kerja keras dan ikhlas. Dia tidak melakukan sesuatu yang merugikan pihak lain termasuk merugikan kelompoknya. "Tut wuri handayani". Ini dalah watak pemimpin ynag mau memperhatikan anak buahnya. Dia mau mendengarkan aspirasi rakyat. Dia tidak bersikap menonjolkan diri, tetapi sederhana dalam banyak hal. Seorang pemimpin tidak harus bersikap menuntut berada pada barisan paling depan. Dia tidak tersingung harga dirinya meskipun dia didudukkan di kursi barisan belakang oleh penerima tamu. Atau dia diberi waktu menyampaikan pendapat pada waktu belakangan.
2.Tipe kedua, adalah penafsiran yang reproduktif.
Penafsiran ini bertujuan untuk mengkomuniksikan pemahamannya terhadap makna untuk kemudian disampaikan kepada pihak-pihak lain melalui komunikasi. Para penafsir dalam dunia Islam, misalnya, setelh memahami makna dari sutu teks dn dapat menjelaskan maksud dan tujuan yang terdapat dalam ayat-ayat ahkam, misalnya, lalu mengkomunikasikannya kepada pihak lain melalui penafsirannya. Para mufassir, dengan demikian, melakukan reproduksi terhadap teks-eks al-Qur'an sesuai dengan keahlian mereka.
3. Ketiga, tipe penafsiran yang bersifat aplikatif
Penafsiran tipe ini berkenaan dengan pengaplikasian norma semisal, norma yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah; norma untuk pemilihan wakil rakyat, norma yang diberlakukan untuk semua pegawai dan karyawan. Norma-norma itu bersifat aplikatif. Penafsiran aplikatif adalah tipe penafsiran terhadap norma yang telah menjadi kesepakatan.
Dalam kehidupan birokrasi, makna dari sebuah aturan , juklak, juknis atau tupoksi; tugas pokok dan fungsi sering disosialisasikan melalui komunikasi. Dari sifat yang terbatas ini kemudian dialirkan melalui berbagai staf ke bawah sampai kepada karyawan biasa.
. -Tentang 4 momen penafsiran.
1. Momen filologi,
2. Momen kritik,
3. momen psikologi,
4. momen teknik morfologi.
1. Momen filologi.
Secara umum, momen ini digunakan untuk memahami simbol-simbol yang baku yang permanen; memahami koherensi logik dan konsistensi logik dari suatu teks atau wacana lisan. Momen filologi berkepentingan rekonstruksi makna dan upaya menjelaskan makna yang berada di balik fakta. Misal, ada fakta lampu merah di persimpangan jalan. Fakta ini menyembunyikan makna tertentu, khususnya, bagi pengguna jalan.
2. Momen kritik
Momen kritik dipergunakan pada kasus yang di dalam dirinya mengundang tanda Tanya seperti munculnys ungkspsn stsu sikap yang tidak rasional dan tidak konsisten.
3. Momen psikologi
Momen ini berlaku ketika penafsir berhadapan dengan kondisi yang mengharuskn dia menyelami jiwa seseorang yang melakukan suatu tindak tertentu. Penafsir menyelami jiwa orang-orang yang terkena musibah Lumpur yang nasibnya terkatung0katung meskipun mereka sudah sekiam lama mengalami musibah tersebut. Lalu mereka melakukan demo besar-besaran dan menimbulkan gangguan lalu lintas. Penafsir, dalam hal menghadapi kondisi semacam ini, dia seolah-olah menjadi mereka, dia memasuki jiwa mereka sehingga tidak terlalu mempersalahkan demo mereka yang menimbulkan gangguan jalan.
4.. Momen teknik morfologi
Momen ini bertujuan memahami makna yang terkandung dalam sikap mental tertentu kaitannya dengan prinsip-prinsip yang berlaku. Betti, memberikan misal kehidupan sebuah komunitas tertentu yang berada di bawah seorang tokoh. Ajaran-ajaran yang mengikat mereka disampaikan secara lisan. Jika seorang tokoh menyampaikan instruksi agar mereka berpuasa pada hari ini atau hari itu, mereka mengikuti perintah tersebut.
3. Paul Ricoeur
Beberapa teori nya yang akan dibahas di sini adalah:
a. teori meaning,
b. Teori fiksasi (fixation), dan
c.Teori distansiasi (distanciation)
Meaning
. Dalam teori makna, Ricoeur mengikuti Frege yang telah diungkapkan di atas sehingga tidak perlu diulang. Intinya, “meaning” mememuat dua sisi; sense dan refderence.
Teori fiksasi
Teori ini untuk menjelaskan proses dari wacana lisan dibentuk ke dalam tulisan, Dari lisan ke penulisan; ini merupakan proses pengeksternalan wacana. Fungsi fiksasi adalah menjaga wacana dari kemusnahan . Bandingkan dengan teori tadwin dalam tradisi disiplin al-Qur'an dan al-Hadis. Pada masa khalifah Usman binAffan dilakukan upaya mengumpulkan ayat-ayat al-Quran yng masih terserak-serak untuk dijadikan suatu mushhaf yang menjadi standard bagi umat Islam. Fiksasi juga dilakukan oleh para sahabat, tabi'in dan tabiit-tabi'in terhadap hadis nabi. Dengan meminjam teori meta-historik, teori yang lazim dipakai dalam studi sejarah, kita bisa mengatakan demikian, "jika hadis tidak difiksasikan, sudah tentu, pengenalan kita atau pengetahuan kita terhadap peran Nabi Muhammad saw tidak seperti sekarang dengan tersedianya bahan atau teks hadis yang melimpah. Teks adalah medium distansi antara masa lalu dengan masa kini. Distansi adalah fakta, ada historical distance. demikian Gadamer. Teks yang ada memiliki historical effects yang mendekatkan apa yang jauh, it is the nearness of the remote, katanya. Dalam permainan ilmiah, meta historik bukan hipotesis. Tujuan meta historik untuk menjelaskan peran penting seseorang atau sesuatu (katakanlah, peran Being, meminjam konsep Heidegger) dalam temporalitas dan historisitas. Contoh, "seandainya Imam aas-Syafi'i, (pendiri salah satu madzhab fiqh) tidak lahir, maka…. Meta historik ini untuk menjelaskan peran penting yang telah dilakukan olehnya dalam peradaban, khususnya, bidang hukum. Imam Syafi'i benar-benar lahir dalam sejarah ini fakta dan kita tidak mempersoalkan lagi atas fakta keberadaan beliau dalam sejarah. Kita tidak bisa berbuat apa-apa terhadap masa lalu, demikian premis histories.
Teori distansiasi
Dalam menjaga kejujuran ilmiah, Ricoeur mengakui bahawa teori distansiasinya terpengaruh oleh Gadamer. Ia mengambil teori ini bukan tanpa respons kritik atas teori tersebut. Pada baris pertama responsnya terhadap distansiasi Gadamer yang diaplikasikan untuk ilmu kemanusiaan, dia mengatakan, dialektika alienating distanciation dengan belonging experience untuk menjaga jarak keobyektifan dalam ilmu kemanusiaan merupakan alternatif yang tidak dapat dipertahankan (Ricoeur, 1991; 75).
Distansiasi Ricoeur lebih dilatari oleh studi bahasa, terutama oleh ahli bahasa Perancis, Benveniste. Menurutnya, bahasa wacana dengan bahasa sebagai bahasa merupakan dua hal yang berbeda. Kini pemilahan terserbut muncul dalam konsep, bahasa sebagai sistem bahasa dan dibedakan bahasa sebagai sistem komunikasi. Bahasa sebagai system bahasa adalah bahasa merupakan suatu tumpukan yang pasif, misalnya dalam kamus; sementara bahasa sebagai system komunikasi adalah bahasa yang telah diaktifkan oleh seseorang dalam suatu waktu dan tempat tertentu. Bahasa dalam wacana menegaskan adanya dialektika antara event dan meaning. Ini merupakan titik awal Ricoeur merumuskan teori teks, demikian pengakuannya.
Mengatakan bahwa wacana adalah event (peristiwa) berarti mengatakan bahwa wacana itu direalisasikan dalam waktu; discourse is realized temporally. Suatu wacana itu diungkap- kan dalam perjalanan waktu tertentu sementara bahasa sebagai system bahasa tidak melibat kan waktu atau outside of time. Terhadap bahasa sebagai system bahasa tidak ada ertanya-an, siapa yang mengatakan? Kapan dikatakan? Di mana dikatakan? Pertanyaan-pertanyaan ini semua baru munculmanakala bahasa tidak sebagai system bahasa, bahasa masih dalam kondisinya yang pasif tidak dan atau belum diaktifkan dalam system komunikasi.Wacana sebagai event menunjuk kepada kejadian di mana dan siapa subyek yang mengatakan.. The eventful character is linked to the person who speaks, demikian Ricoeur (1991; 77) . Dia melanjutkan, "what we wish to understand is not the event but the meaning. Discource is realized as event, but understood as meaning.(Ricoeur, 1991; 78,81) Bahasa dalam wacana adalah bahasa yang telah diaktifkan oleh seseorang dalam wacana. Untuk itu, pertanyaan yang muncul antara lain, kapan diungkapkan? Di mana dan oleh siapa? Teori distansiasi bekerja sebagai proses memilah antara kejadian wacana dengan wacana iu sendiri. Apa yang menjadi perhatian hermeneutika bukan kepada kejadiannya melainkan pada wacananya karena dia adalah obyek kajian yang hendak difahami. Hermeneutik berkepentingan dengan wacananya, erkepen- tingan dengan bahasanya atau kalimatnya yang di dalamnya mengandung makna tertentu.
Distansisasi sebagai pemilahan antara peristiwa dengan makna oleh Ricoeur diberlakukan pada tindak bicara (wacana lisan), tindak menulis (teks) dan tindak berbuat (action) lengkap dengan karakteristiknya sendiri-sendiri. Akan tetapi dari tiga karakter tersebut, perhatian utamanya pada teks; distanciation separates the message from the speaker, from the initial situation and from its primary receiver . Distansiasi itu memisahkan berita dari sang penuturnya, dari situasi dan dari penerima awal berita tersebut.
Melalui wacana lisan atau wacana tulis, atau teks, self understanding seseorang tertantang apakah memiliki tingkat pemahaman yang mencukupi atau tidak.. Pada gilirannya dunia Self understanding seseorang juga ditantang untuk diekspresikan, direfleksikan atau diobyektifasikan dalam struktur makna melalui wacana lisan atau wacana tulis.
Kemudian Ricoeur membahas problem appropriation terkait dengan dunia teks. Dia mengajukan konsep appropriation yang diartikan sebagai bahan yang dimiliki oleh seseorang. Konsep ini terkait dengan self understanding, atau pemahaman diri. Ketersediaan bahan pada diri ini oleh Ricoeur dikaitkan dengan fiksasi atau penulisan menjadi teks yang memiliki karakteristiknya sendiri. Problema lainnya adalah bahwa ketersediaan bahan ini secra dialektis terkait dengan pengobyektifasian makna dalam bentuk penulisan. Gadamer menyebut appropriation ini dengan "the matter of the texts", Ricoeur menyebutnya dengan "the world of the work". Tampak bahwa dalam hal ini, Ricoeur lebih cenderung ke Heidegger. Hal ini lebih tampak kalau kita baca salah satu sub judul yang terdapat di dalam bukunya demikian,"The new Being and the thing of the text". Kita memahami The new Being adalah pemahaman baru seseorang yang diperoleh dari dunia teks. The thing of the text adalah obyek kajian hermeneutika, demikian dia katakan. Dunia teks itu menangkap semua relasi dengan dunia. Ini mempertegas teori “referential relation to the worl and to the speaking subject”; bahwa (dunia) teks itu tidak bisa dipisahkan dari dunia obyek dan subyek. Teks sebagai karya tulis memperoleh masukan dari dua sumber wacana yang transenden. Sebuah karya tulis, sastra, cerpen, sinetron, misalnya, bukan murni hasil dari diri seorang penulis tanpa masukan dari dunia luar diri. Sebuah karya ilmiah atau jenis karya yang lain bisa jadi bersumber dari karya tulis yang telah ada sebelumnya atau bersumber dari realitas empirik. melalui wacana pembicaraan dengan subyek lain. Sumber atau wacana yang telah ada atau faktor-faktor eksternal luar diri merupakan bagian yang lazim terjadi dalam wacana. Bahwa ada faktor eksternal yang terlibat dalam proses penulisan teks. Kondisi demikian ini, kata Ricoeur, membuka kemungkinan untuk menjelaskan dunia teks. Arti menjelaskan di sini berarti “explanation”, yang sebelumnya oleh Dilthey tidak diperbolehkan digunakan untuk ilmu kemanusiaan dengan alasan metode ini hanya cocok untuk ilmu alam dan tidak perlu dipinjam untuk digunakan dalam ilmu kemanusiaan.
Menurut Dilthey, untuk ilmu-ilmu kemanusiaan ada metodenya sendiri, yakni metode verstehen atau understanding atau “motivational understanding; memahami motivasi yang tersembunyi di balik tindakan manusia apakah tindakan bicara, tindakan berbuat sesuatu atau memahami simbol yang terdapat dalam bahasa sehari-hari maupun bahasa ilmiah dan sastra. Ricoeur tidak menolak pandanngan Diltehy ini. Apa yang dia protes dari Dilthey adalah pendapatnya menegaskan bahwa eksplanasi sebagai metode yang hanya cocok untuk ilmu fisika dan tidak cocok untuk digunakan mengkaji ilmu kemanusiaan. Ricoeur sebaliknya berpendapat bahwa eksplanasi dapat bertindak sebagai metode yang bisa digunakan untuk ilmu-ilmu kemanusiaan sebab eksplanasi ini bukan milik (monopoli) ilmu kealaman melainkan terdapat dalam ilmu bahasa. Ilmu bahasa tidak meminjam metode eksplanasi dari ilmu alam melainkan memang milik bahasa itu sendiri. Dua metode ini seharusnya tidak untuk diperselisihkan atau dilawankan satu dengan yang lain melainkan untuk digunakan saling melengkapi.
Ricoeur menegaskan demikian,
"in contrast to what Dilthey thought, this explanatory attitude is not borrowed from a field of knowledge and an epistemological model other than that of language itself. It is not a naturalistic model subsequently extended to the human science(Ricoeur, 1991; 113) .
“Menggunakan metode eksplanatori bukan berarti meminjam dari disiplin ilmu pengetahuan lain. Metode eksplanasi tidak dipinjam dari ilmu alam melainkan memang milik bahasa itu sendiri. Eksplanasi bukan milik (monopoli) ilmu alam yang selanjutnya diperluas jangkauannya mencakup ilmu-ilmu kemanusiaan”.
Tentang teori distansiasi. Teori Ricoeur ini dilatari oleh studi bahasa, terutama oleh ahli bahasa Perancis, Benveniste. Menurut Benveniste, bahasa sebagai sistem wacana dengan bahasa sebagai bahasa merupakan dua hal yang berbeda. Kini pemilahan tersebut muncul dalam konsep bahasa sebagai sistem bahasa dan dibedakan dari bahasa sebagai sistem komunikasi. Bahasa sebagai sistem bahasa adalah bahasa sebagai tumpukan yang pasif, misalnya dalam kamus; sementara bahasa sebagai sistem komunikasi adalah bahasa yang telah diaktifkan oleh seseorang dalam suatu waktu dan tempat tertentu. Ketika bahasa sebagai sistem bahasa pertanyaan-pertanyaan di bawah ini tidak muncul; siapa yang mengatakan, di mana dikatakan, dalam situasi apa dikatakan, dengan siapa dia berbicara…? Bahasa dalam komunikasi menegaskan adanya dialektika antara event dan meaning. Ini merupakan titik awal Ricoeur merumuskan teori teks seperti telah dibahas di atas.
Surabaya, 17-02-2010
a. khozin afandi
Selasa, 16 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar