Hermeneutika lahir dari traidi filsafat Yunani dan digunakan dalam sistem pendidikan. Plato, satu dari filsuf Yunani, menggunakan istilah techne hermeneias, yag berarti seni penafsiran atau seni menjadikan sesuatu yang tidak jelas menjadi jelas. Seorang muridnya, Aristoteles, memilih istilah "peri hermeneutics yang berarti logika penafsiran atau metode penafsiran (Don Ihde, 1971; 6) . Paul Ricoeur (1981; 43) mengartikan hermeneutika sebagai teori pemahaman yang dioperasionalkan untuk penfsiran terhadap teks . Hermeneutika memasuki era modern melalui gerakan deregionalisasi atau “generalisasi" yang dirintis oleh Schleiermacher (1768-1834).
Pada awalnya, hermeneutika digunakan dalam sistem pendidikan di Yunani kuno. Pedoman pendidikan pada saat itu adalah karya Homerus yang berisi nasehat-nasehat moral. Hermeneutika digunakan untuk menafsirkan filologi, yakni karya manusia. Sementara itu, di kalangan Yahudi dan Nasrani telah berkembang .tradisi penafsiran terhadap Kitab Suci (oenafsiran teologi) yang dikenal dengan nama “Biblical exegesis”, penafsiran terhadap Kitab Suci Bibel. Biblical exegesis tidak identik dengan tafsir hermenutika sebab exegesis adalah cara penafsiran yang khas yang digunakan dalam tradisi mereka. Ada dikabarkan bahwa Philo (30 SM – 50 M), seorang filsuf agama Yahudi, telah melakukan upaya penafsiran terhadap Kitab Suci agama Yahudi yakni penafsiran model exegesis dan bukan hermenutika. Demikian ini juga terjadai di kalangan umat Kristen serta umat Islam.
Memang ada data sejarah yang menyebutkan munculnya kaum reformis Protestan Lutherian yang memiliki gagasan menjadikan hermeneutika sebagai metode penafsiran Bibel. Gagasan ini ada pada diri Spinoza (1632-1677), Flacius dan Chladenius. Menurut mereka, ada ayat-ayat yang tidak jelas truth content-nya dikandung, atau self eviden-tnya dan subject matternya sehingga membuka berbagai pertanyaan (Warnke, 1987; 5) .
Untuk kepentingan memperoleh kejelasan makna ayat seperti digambarkan di atas, maka diperlukan penafsiran yang didasarkan pada aturan-aturan yang universal dan sistematis. Perlu. sistem penafsiran yang universal sebagai pedoman penafsiran yang valid dan berlaku secara umum. Dengan adanya pedoman yang berlaku secara umum dan valid, maka siapa pun yang menguasai pedoman penafsiran itu sah menfasirkan Kitab Suci karena dibimbing oleh prinsip-prinsip penafsiran. Kitab Suci harus dipahami atas dasar dirinya sendiri ", yakni dipahami atas dasar bahasa yang digunakan olehnya (Warnke, 1987;10) .
Namun gagasan ini hanya berhenti pada gagasan. Flacius, Spinoza maupun Chladenius tidak merealisasikan gagasan mereka menjadi karya nyata dalam bentuk buku tafsir hermeneutika sebagai pedoman yang bersifat universal dan valid sebagaimana mereka gagas.
Di sisi lain, gagasan mereka tidak memperoleh respons dari para pimpinan agama yang merasa Biblical exegesis telah mencukupi untuk keperluan menafsiran Kitab Suci. Bultman dan Professor Ebeling, dua teolog Kristen yang terlibat dalam wacana hermenutika pasca gerakan ontologis Heidegger. Keduanya tidak bisa menerima gagasan untuk menggunakan hermeneutika sebagai metode penafsiran terhadap Bibel. Mengikuti jejak Bultman, Profesor Ebeling dengan tegas menyatakan bahwa hermeneutika berakar pada konsep logos produk Yunani. "the idea of hermenutics is rooted in the Greek concept of logos" (Bleicher, 1980; 74-75) Apakah untuk menafsirkan the word of God seseorang bisa menggunakan suatu metode yang biasa dipakai di dalam pergaulan sesama manusia?, demikian Ebeling. Kata Bleicher, ini merupakan argumen yang disenangi olehnya. Jika Bultman dan Ebeling memasukkan unsur hermeneutika di dalam argumennya, tokoh agama lebih melihat dari sisi teologi, bahwa agama) bukan produk logos. Untuk memahami Kitab Suci maka tidak diserahkan kepada logos melainkan harus kepada iman. Iman sebagai fondasi dasar memahami. Uraian singkat di atas mengarah kepada satu pengertian bahwa hermeneutika tidak pernah digunakan untuk menafsirkan Bibel..
Schleiermacher, figur perintis hermenutika modern melalui gerakan deregionalisasi tidak bermaksud menjadikan hermenutika sebagai metode penafsiran Kitab Suci. Bahwa dia tidak punya maksud menjadikan hermeneutika sebagai metode penafsiran Kitab Suci dapat dilihat dari ungkapannya yang dikutip oleh Georgia Warnke, "tuntutan menggunakan hermenutika muncul dalam setiap saat dan dalam setiap wacana". Di tempat lain dia mengatakan, "di tengah-tengah pembicaraan dengan orang lain saya merasa perlu mengoperasikan hermeutika. Demikian ini jika saya tidak puas dengan pemahaman yang belum mantap, lalu saya berupaya meminta lawan bicara menjelaskan isi pikirannya (Warnke, 1987;10-11) . Para hermeneutisi yang datang setelah dia, juga tidak ada satupun yang menyatakan bahwa karya hermeneuikanya ditujukan untuk menafsirkan kitab Suci. Kita dapat menyebut nama-nama mereka antara lain Droysen, Dilthey, Heidegger, Gadamer, Adorno, Habermas dan Paul Ricoeur. Karya-karya hermenutika mereka tidak untuk menafsirkan Kitab Suci melainkan untuk studi teks, filologi, wacana lisan, kehidupan sosial, budaya, yakni hermeneutika untuk disiplin "geisteswissenschaften..
Kaidah hermeneutika
Dua kaidah di bawah ini ingin penulis diskusikan secara ringkas, yakni
1. Proses triadik,
2. makna otonom
Menurut Emilio Betti, setiap aktivitas penafsiran adalah proses triadik atau proses tiga segi; yakni, ada obyek yang ditafsirkan, ada subyek yang menafsirkan, yang ketiga ada mediumnya (penrantara). Menurut Betti, penafsiran itu tidak bersifat langsung (subyek-obyek) melainkan tidak langsung (subyek, medium, obyek).
Proses triadik itu adalah:
Pertama; subyek yang bertindak sebagai penafsir,
Kedua; obyek yang ditafsirkan (baik berupa teks dan wacana lisan),
Ketiga;, meining-full forms sebagai medium.
Istilah forms tersebut di atas berarti ide atau konsep. Ini menjadi bukti ada warna Platonis dalam hermeneutika karena memang disiplin ini dilahirkan di tanah Yunani. Plato menggunakan istilah “form” identik dengan ““ide”. Dalam “The Republic X, Book X, beberapa kali Plato menyatakan, “idea or form”. Dalam The Republic VI dan dalam “Phaedo, Plato menyebutkan bahwa ideas adalah unseen (dunia yang tidak tampak mata). Dunia unseen dibedakan dari duia “seen”, yakni dunia yang tampak mata. Dunia ide yang unseen itu tidak berubah-ubah. ini dibedakan dengan dunia yang tampak mata yang bersifat berubah-ubah, dan serbaneka Jujur adalah dunia ide, Jujur itu tunggal dan tidak berubahan. Jika kemaren seseorang jujur dan kemudian setelah mencapai tujuan yng diinginkan menjadi tidak jujur, maka yang berubah adalah orangnya, atau dunia yang tampak mata, duia yang patikular, individual. Meski dunia ide itu tidak tampak mata, namun dia dapat diketahui. Dalam Ther Republic VI, dia menegaskan “ the ideas are known but not seen. Rasio adalah alat atau sarana yang dapat mengetahu ide. Ide merupakan obyek hakiki, sementara rasio adalah sarananya. Dunia ide tidak dipahami oleh indera melainkan oleh rasio. Idealisme-rasionalisme, demikianlah gelar yang idlekatkan pada Plato sebagai perintis madzhab idealisme-rasionalisme. Pengetahuan yang dihasilkan oleh rasio yang memahami duia ide sebagai obyek mencapai tingkat genuine knowledge, sedangkan pengetahuan yang dihasilkan oleh indera yang obyeknya dunia yang tampak mata hanyalah , “opinion” yang derajatnya di bawah pengetahuan yang sejati. Ide adalah dunia yang hakiki, reality, sebaliknya, dunia yang tampak mata adalah bayang-bayang.dari dunia yang hakliki. .
Kembali ke proses penafsiran.
Contoh
- قل يا أهل الكتاب تعالوا إلى كلمة سـواء بينـنا وبيـنكم ألا نعـبد إلا الله ولا تشرك به شـيئا.....(أل عمران: 64).
- بالالف ارفع المثنى وكلا - إذا بمضمر مضافا وصلا (الفية ابن مالك)
Meaning-full forms, yakni konsep yang kandung makna. Konsep semacam ini merupakan produk entitas supra individual. Konsep yang diproduk entitas ini juga bertindak sebagai prakondisi penafsiran (Bleicher, 1980; 47,56) , Entitas yang dsimaksud meliputi komunitas penutur dan original public, meminjam istilah Schleiermacher. Apa yang dikehendaki dengan original public” atau masyarakat asli adalah masyarakat yang menjadi kelompok asli penerima teks dari autor. Kelompok ini lahir di tanah yang basis bahasanya sama dengan autor (penngarang). Di dalam dunia Islam, al-Quran bukan hasil karangan Nabi Muhammad. Dengan demikian Nabi Muhammad bukan autornya. Nabi dengan jujur menyatakan bahwa al-Quran merupakan wahyu Allah dan beliau tak lain selain menyampaikan wahyu itu karena memang diberi tugas sebagai nabi rasul menyampaikan risalah Ilahi kepada sesama manusia. Nabi menyampaikan wahyu dalam bahasa Arab di kepada umat yang fakta sosial dan fakta budaya berbasis bahasa yang sama dengan bahasa al-Quran.
Dalam contoh ayat di atas, seorang Muslim yang ingin menafsirkan istilah “kalimatin sawa in, bainana wa bainakum”, menurut kaidah hermeneutika di atas, maka dia harus mencari konsep-konsep yang telah ada yang diproduk oleh entitas bahasa, atau original public seperti para sahabat, para ulama yang tanah asli kelahirannya berbasis bahasa Arab. Apakah para mufassir telah menafsirkan istilah itu? Jika iya, maka tafsirannya itu dijadikan medium bagi seorang muslim generasi berikut untuk memahami makna di dari istilah tersebut. Pemahaman atau penafsiranmemenag bersifat subyektif, namun dalam hal memahami ungkapan pihal lain dalam bentuk lisan maupun teks, hermeneutika membantu memberikan kaidah supaya karakteristika penafsiran yang bersifat subyektif itu dibimbing oleh aturan atau pedoman yang berlaku umum.
Tentang otonom
Dalam hermeneutika dikatakan teks itu otonom, tata bahasa itu otonom, artinya bahwa teks itu memiliki logika dan aturan-aturan yang khas yang melekat padanya sehingga untuk memahaminya diperlukan bahasa yang sama dengan yang dipakai teks.
Surabaya, 12-02-2010
a. khozin afandi
Referensi
Bleicher, Joseph, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique, London, Routledge & Kegan Paul, 1980
`
Gadamer, Has Georg, Philosophical Hermeneutics, trans, David E. Linge, University of California, Berkeley, 1977.
Ihde, Don, Hermeneutics Phenomenology, The Philosophy of Paul Ricoeur, Northwestern University Press, Evanston, 1971
Mayer, Frederick, A History of Ancient & Medieval Philosophy, New York, American Book Company, , 1956
Ricoeur, Paul, Hermeneutics and Human sciences; Essays in Language, Action and Interpretation, trans, John B. Thompson, Cambridge University Press, 1981
--------------, From Text to Action, Essays in Hermeneutics, trans. Kathleen Blamey
and John B. Thompson, Northwestern University Press, Evanston, 1991
Stumpf. Samuel Enoch, Socrates to Sartre: A History of Philosophy, New York, McGraw-Hill Book Company, 1975
Thompson, John B., Critical Hermeneutics, Paul Ricoeur and Habermas, Cambridge University Press, 1983
Walsh, W.H., Philosophy of History, New York, Harper Porrchbooks, 1967
Warnke, Georgia, Gadamer, Hermeneutics: Tradition and Reason, Cambridge, Polity Press, , 1987
HERMENEUTIKA 2
Tiga arus hermeneutika
Ada tiga arus dalam hermenutika tiga (Bleicher, 1980) ;
a. hermeneutika teori, (hereneutical theory),
b. hermeneutika filsafat,( hermeneutic philosophy),
c. hermeneutika kritik. (Critical hermeneutics).
Kami menterjemahkan “hermeneutical theory” dengan “hermeneutika teori” dan tidak dengan “teori hermeneutik”. Penterjemahan tersebut bermaksud untuk membedakan istilah "hermeneutika teori" dengan "teori hermeneutika. Hermeneutika teori adalah sebutan atau nama dari sebuah aliran yang terdapat dalam disiplin hermeneutika, sementara "teori hermeneutika" dapat diartikan sebagai teori-teori yang diproduk oleh hermeneutika. . Pembedaan tersebut juga untuk menghindari tumpang tindih makna Untuk kepentingan menghindari tumpang tindih serta untuk menegaskan nama bagi sebuah aliran dalam hermeneutika, maka kami memilih menterjemahkan dengan "hermeneutika teori" (bukan teori hermeneutika); "hermeneutika filsafat" (bukan filsafat hermeneutika) dan "hermeneutika kritik" (bukan kritik hermenutika).
Hermeneutika teori memfokuskan perhatiannya pada masalah teori penafsiran yang bersifat umum sebagai metode untuk ilmu-ilmu kemanusiaan atau geisteswissenschaften termasuk sosiologi dan ilmu budaya. Hermeneutika teori menempatkan hermeneutika dalam kamar epistemologi.
Dalam kamar ini, hermeneutik diperlakukan sebagai metode penafsiran terhadap pemikiran orang lain baik berupa wacana lisan maupun tulis. Melalui proses hermeneutik, Betti –salah satu figur dari aliran ini- diperoleh pemahaman atau pengetahuan yang obyektif. Tujuan dari hermeneutik teori adalah tercapainya pemahaman yang obyektif.
Pendapat ini memperoleh reaksi dari Heidegger dan Gadamer, dua figur yang merupakan representasi hermenutika filsafat.
Hermeneutika filsafat berpendapat bahwa seorang ilmuwan atau seorang penafsir sejak dini sudah terikat oleh suatu tradisi. Keadaan ini menjadikan mereka telah memiliki pre understanding terhadap tradisi di mana mereka berada di dalamnya. Dengan kenyataan semacam ini, ilmuwan atau penafsir tidak berangkat dari pikiran yang netral. Dengan demikian, kemungkinan memperoleh pemahaman yang obyektif terhalang oleh keadaan riel peneliti yang sulit dielakkan dari keterkatannya terhadap tradisi.
Menurut hermeneutika filsafat, hermenutika bukan sebuah proses metodis untuk tujuan mencapai pengetahuan yang obyektif tetapi bertujuan menjelaskan fenomena human Dasein, atau eksistensi manusia. Bahwa di dalam diri manusia tersimpan karakteristik potensial- khas manusia. Karakter potensial ini adalah pemahaman. Dan pemahaman itu selalu berada dalam perjalanan waktu dan dalam lintasan sejarah. Manusia adalah mahkluk yang memahami Oleh hermeneutika filsafat pemahaman hanya terdapat dalam human Dasein Untuk memperoleh pemahaman, demikian tegas \Heidegger, tidak harus menunggu adanya proses penafsiran. Tanpa proses penafsiran pun, Dasein adalah makhluk pemahaman. Bahkan, manusia bisa pnya pemahaman terlebih dahulu, baru kemudian melakukan penafsiran.
Perubahan wacana hermeneutika yang bersifat substantif terjadi ketika diskusi hermenutik berpindah dari kamar epistemologi ke kamar ontologi. Adalah Heidegger (1889-1976) filsuf pelaku perubahan itu.
Being and Time. Bahwa eksistensi manusia bersifat terbuka, selalu dalam proses becoming (menjadi) melintas dalam temporal continuoum (temporality atau time) dan beregrak dalam historicality, sejarah yang memberi pengalaman dan kesadaran akan adanya perkembangan kea rah yang lebih maju.
Heidegger memilah antara Being of Dasein (human existentiales) dan Being dalam arti entitas (sein, wujud selain eksistensi manusia). Hanya Being of Dasein yang berkarakter pemahaman. Lebih tegas dia mneyatakan, pemahaman adalah Dasein itu sendiri. Pemahaman adalah suatu konsep ontologi yang fundamental yang merujuk kepada Being of Dasein. Dalam tradisi filsafat sebelumnya, kita telah menegnal manusia adalah binatang yang berfikir. Kini, manusia adalah makhluk yang memahami. Heidegger menyatakan, "knowledge is mode of Being of Dasein as Being in the World". Bandingkan dengan konsep yang bersumber dari Qur'an "khalifah fil ardl; jika konsep "khalifah" merujuk kepada human existeniales dan tidak menunjuk kepada being lain selain manusia, maka, khalifah adalah the mode of Being of Dasein as Being in the world. Uji kemampuan terkait dengan potensi fundamental yang terdapat dalam diri Nabi Adam disebutkan dalam ayat, wa 'allama Adam al-asma kullaha…(al-Baqarah).
Kita kembali ke Heidegger. Menurutnya, pemahaman dan penafsiran tidak perlu dibedakan. Pemahaman tidak harus didahului oleh penafsiran. Pemahaman bisa ada tanpa melalui penafsiran. Bahkan dia menegaskan bahwa pemahaman yang diperoleh dengan metode menafsirkan pikiran orang lain merupakan inauthentic understanding, yakni pemahaman yang tidak autentik, tidak sejati karena diperoleh melalui proses penafsiran terhadap pikiran orang lain. Di sini seseorang memahami konsep pikiran milik orang lain dan itu berarti milik sendiri. Heidegger juga menyatakan , what is understood is to be interpreted, apa yang sudah difahami baru ditafsirkan. Seseorang yang beragama Islam paham bahwa dia sedang berjalan menuju masjid untuk menunaikan shalat. Dia paham bahwa shalat maghrib adalah wajib dalam agama Islam. Setelah shalat, dia paham bahwa dia membaca al-Qur'an dan dia paham bahwa dia juga paham makna ayat-ayat yang dia baca, atau sebaliknya, dia paham bahwa dia tidak memahami makna ayat yang dia baca. Meskipun demikian ia tetap berusaha menjelaskan (menfasirkan) kepada orang lain bahwa meskipun dirinya tidak memahami arti yang dibaca, tetapi membaca al-Qur'an merupakan salah satu cara menegaskan diri sebagai seorang Muslim.
Oleh Heidegger, hermeneutika dipindah dari kamar epistemologi ke kamar ontologi. Di kamar ini tidak lagi mempertanyakan tentang bagaimana saya memperoleh pemahaman. Pemahaman adalah konsep ontologi yang fundamental. Pemahaman adalah manusia itu sendiri
- Being in the world.
Doktrin ini muncul dari latar belakang diskusi epistemologi. Dalam tradisi epistemologi semennjak Plato, Descares, Kant sampai fenomenologi, sejak dini konsep subyek obyek ditempatkan saling berhadapan. Sebagai filsuf pencetus analisis being, Heidegger memengambil cara yang berbeda dari mereka. Dia tidak menempatkan subyek dan obyek dalam dua titik yang berhadap-hadapan, Ia mengatakan, subyek dan obyek adalah milik dunia (world). Lalu ia menggantinya dengan, "being". Daripada menggunakan kata-kata " both subject and object in the World", dia memilih " being in the World.. Heidegger meleburkan Subyek obyek menjadi "being". Dan being di sini menunjuk kepada being of Dasein dan being of thing. Ada yang memberi komentar, gerakan Heidegger ini sebagai "the movement from the problem of method towards the problem of being ., gerakan being. Teori pengetahuan model Heidegger ini digambarkan sebagai "being encaounter being" menggantikan tradisi sebelumnya yang menempatkan obyek di satu titik dengan subyek di titik lain yang saling berhadapan. This Dasein is not a subject for which there is an object, but rather being within being . Ia juga bisa disebut gerakan “being in the being. being of Dasein, terdapat dalam being of the thing. Dan dua being ini ada di dalam the world, Inilah doktrin being in the world itu.
Doktrin ini merupakan salah satu tema dari bukkunya yang terkenal, berjudul, "Being and Time". Anthony Giddens penggagas teori strukturasi mengakui bahwa dirinya terpengruh oleh karya Heidegger ini. Persoalan riel dari karya ini bukan mengenai bagaimana being dapat dipahami melainkan bagaimana menjelaskan bahwa pemahaman adalah being. Heidegger menegaskan bahwa pemahaman adalah being.
Filsuf lain dalam kamar ini adalah. Dia tidak meneruskan problema being Heidegger, melainkan kembali mendiskusikan problema metodologi. Gadamer menyatakan demikian,
" The principle of hermenutics simply means that we should try to understand everything that can be understood. This is what I meant by the senten. Selanjutnya dia mneyatakan, "being that can be understood is language" . Being adalah bahasa, kata Gadamer; being adalah pemahaman, kata Heidegger.
Wilayah pemahaman mencakup berbagai macam aktivitas mulai dari komunikasi antar sesama sampai masalah manipulasi sosial, mulai dari pengalaman personal individu sebagai warga masyarakat sampai dengan bagaimana dia memahami kehidupan dalam masyarakat dan bermasyarakat, mulai dari masalah tradisi yang bersumber dari agama, masalah hukum, masalah perkembangan pemikiran filsafat, karya seni sampai revolusi kesadaran yang masuk ke wilayah tradisi agama melalui refleksi emansipasi .
Paul Ricoeur menambhkan bahwa pemahaman itu berhubungan dengan situasi, atau posisi seseorang dalam suatu keadaan. Di dalam situasi itulah pemahaman muncul meski masih bersifat mendasar Bultman mennyatakan bahwa pemahaman semacam ini sebagai pre undersanding, atau prejudice.
Secara struktural, pemahaman itu mencakup pre understanding. mis understanding. non understanding dan false understanding. Salah satu dari tujuan hermeneutik filsafat adalah membebaskan manusia dari pemahaman yang salah (false understanding) dan sejenisnya, non dan mis understanding.
Apa yang dimaksud dengan pre understanding adalah yang bersumber dari tradisi agama seperti surga, bidadari, neraka, penyiksaan kubur, pahala, dosa, taubat dan lain-lain. Pemahaman semacam ini hanya berdasar keterangan pihak lain yang diperoleh melalui pergaulan atau pendidikan pada jenjang pemula.
Dalam wacana hermeneutika masih terjadi perdebatan yang melibatkan Gadamer sebagai wakil dari hermeneutika filsafat dengan Habermas sebagai wakil dari hermeneutika kritik. Menurut Habermas, hermeneutika teori dan hermeneutika filsafat mengabaikan faktor ekstra bahasa yang berpeluang bisa mempengaruhi pemikiran dan tindakan seseorang . Beberapa filsuf seperti Apel, Adorno dan Habermas mencurahkan perhatiannya pada masalah faktor ekstra bahasa ini dan dalam perkembangannya melahirkan apa yang dikonsepsikan sebagai hermeneutika kritik.
Hermenutika kritik lahir dilatari oleh dua aliran sebelumnya yang mengabaikan tlatah extra linguistic.
Ada kemngkinan seseorang berada dalam lingkungan sosial yang bersifat uncontrollable suatu lingkungan di mana dia tertekan secara mental dan psikis namun tidak memiliki kemampuan kontrol apalagi mengubahnya; situasi ini digambarkan sebagai , "the second nature". Situasi semacam ini merupakan faktor eksternal yang menyebabkan dia terpaksa melakukan sesuatu atau mengucapkan sesuatu . Oleh sebab itu untuk menafsirkan tindakan atau ucapan seseorang maka penjelasan model causal explanation bisa menjadi pilihan sehingga tidak hanya motivational understanding, sebagai satu satunya metode untuk memahami kehidupan manusia baik pada level individual maupun kolektif.
Kita berpindah ke masalah makna "kritik". Apakah makna "kritik" dicoba jawab oleh para penumpang aliran hermeneutik kritik. Sandkuhler memahami kritik sebagai rekonstruksi melalui penelitian yang cermat terhadap asal muasal munculnya fenomena intelektual. Apel, Habermas dan Lorenzer memahami kritik sebagai self-reflextion dan pembebasan. Mereka menggunakan paradigma psikoanalisis. Psikoanalisis dipandang sebagai sains yang membebaskan, yakni, membebaskan pasien jiwa yang depth understanding nya terkena gangguan sehingga bisa kembali pulih dan sembuh. Karena itu, hermeneutik kritik disebut juga dengan dept hermeneutics. Istilah depth me minjam psikoanalisis. Keduanya mengemban misi membebaskan pasien dari kondisi sakit. Bedanya, psikoanalisis wilayahnya adalah individual life yang jiwanya terganggu ; hermenutik kritik wilayah garapannya adalah social life yang terganggu oleh satu dan lain hal; hermeneutik kritik selalu merujuk pada kekuasaan sebagai faktor eksternal penyebab. Konkrit yang dicontohkan seperti sensor penguasa terhadap.., cekal penguasa atas…, atau penggunaan kekerasan atas nama kekuasaan dan untuk mempertahankan kekuasaan dari berbagai gangguan. Kritik ideologi menjadikan fokus kajiannya adalah analisis terhadap dominasi kekuasaan terkait isu-isu penggunaan kekerasan, pemberian cekal, sensor penerbitan berita, pelanggaran HAM, masalah perburuhan atau penegakan hukum, dll.
Di kalangan umat Islam, penafsiran terhadap Kitab Suci telah berjalan sejak ayat al-Qur’an turun dan Nabi Muhammad saw sendiri telah menafsirkan beberapa ayat dari al-Qur’an. Tafsir al-Qur’an yang langsung dilakukan oleh Nabi adalah tafsir bil-manqu. Dalam perkembangan selanjutnya para ulama menyusun sebuah disiplin untuk penafsiran terhadap al-Quran, yakni Ulum at-tafsir. Akan tetapi, menurut hemat kami ulum at-tafsir tidak dapat diidentikkan dengan hermenutik. Mungkin secara bahasa, ya, artinya, hermenutik itu sebenarnya berarti penafsiran. Hanya sebatas makna lafdhiah ini dapat diterima. Akan tetapi jika yang dikehendaki dengan istilah penafsiran sebagai satu sistem metodologi, atau sebuah disiplin tentang metode menafsirkan Kitab Suci, jelas tidak identik. Sebagai sebuah sistem, ulum at-tafsir atau ulum al-Qur’an terdiri dari unit-unit bahasan yang mana satu dengan yang lain saling berhubungan. Di antara unit-unit itu adalah;
a. kaidah memahami al-Qur’an. Kaidah ini membahas antara lain;
b. kaidah tentang dhamir atau kata ganti nama,
c. kaidah isim m’rifat dan isim nakirah,
d. kaidah mufrad danjama’,
e. kaidah I’rab.
f. Ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat, mencakup bahasan antara lain;
a. arti muhkamat dan mutasyabihat,
b. cara menentukan muhkamat dan mutasyabihat,
c. bagaimana mengetahui yang sesungguhnya makna mutasyabihat,
d. hikmah di balik mutasyabihat,
g. Nasakh: nasikh dan mansukh, mencakup antara lain;
a. makna nasakh,
b. macam-macam nasakh,
c. nasakh di dalam al-Qur;an,
h. Bahasan mengenai manthuq dan mafhum,
i. bahasan mengenai mafatih as-suwar.
Item-item di atas merupakan bagian yang menjadi bahasan dalam ulum at-tafsir atau ilmu untuk menafsirkan al-Qur’an. Dari tema-tema atau item-item bahasan tersebut menjelaskan kepada kita, bahwa, pertama, ulum at-tafsir memiliki timgkat otonom yang mandiri dan berbeda dari hermeneutik; kedua, sebagai sebuah disiplin untuk menafsirkan Kitab Suci, ulum at-tafsir tidak terkena pengaruh hermeneutik. Dalam sisi tata bahasa atau nahwu, secara umum, artinya tidak saja berlaku untuk menafsirkan al-Qur’an tetapi juga untuk teks yang berbahasa Arab, tata bahasa Arab mempunyai otonominya sendiri. Di sini dibahasa, misalnya, isim yang dibaca rafa’, isim yang dibaca nasb dan isim yang dibaca jer. Masing-masing i’rab tersebut memiliki tanda yang khas. Isim dibaca rafa’ ditandai dengan dlomah jika isim itu mufrad atau tunggal, jika isim itu tasniyah maka alamat rafa’nya adalah alif seperti kitabun atau al-kitabu untuk mufrad, dalam bentuk tasniyah adalah kitabani atau al-kitabani. Jika isim itu dalam bentuk jamak atau plural, maka alamat rafa’nya adalah waawu; lalu isim itu dibaca kitabuna atau al-kitabuna. Ringkasnya, seperti sering dinyatakan dalam hermenutik atau filsafat bahasa, bahwa language game atau teks itu otonom, artinya, sebuah teks memiliki logikanya sendiri yang khas. Bahasa Arab memiliki logikanya sendiri, punya kaidahnya sendiri yang berbeda dari bahasa lainnya, misal, bahasa Indonesia. Secara tata bahasa dua bahasa ini berada dalam imanensinya sendiri-sendiri. Kelanjutan dari doktrin language game bahwa seorang penafsir yang obyek kajiannya adalah teks yang berbahasa Arab, maka dia tidak bisa tidak selain harus memiliki penguasaan tata bahasa sesuai dengan teks bahasa yang menjadi obyek kajiannya. Item-item bahasan di dalam ulum at tafsir yang kami contohkan di atas, jelas tidak menjadi diskusi dalam hermeneutika modern dan kontemporer.
Di kalangan umat Islam tidak pernah muncul usulan hermeneutik dimasukkan sebagai metode atau sains yang diperlukan bagi kegiatan menafsirkan Kitab Suci al-Qur’an Berbagai disiplin di atas telah disusun oleh para ulama dan menghasilkan berbegai kitab dan menjadi rujukan sekaligus juga menjadi materi kajian baik pada taraf siswa maupun mahasiswa. Di sisi lain, berbagai kitab tafsir yang ditulis para mufassir bersifat terbuka, mudah ditemukan di berbagai toko buku atau dalam perpustakaan. Tidak ada larangan dari para ulama membaca dan atau menelaah karya-karya para mufassir. Di antara mufassir ada yang menekankan pada sisi sastranya seperti al-Zamakhsyari dalam itab tafsirnya “al-Kassyaf”, sebagian lagi menekankan pada social life dan atu masalah politik seperti tafsir susunan Rasyid Ridla, “al-Manar”, sebagian menekankan sisi tafsir ilmiah seperti Thanthawi Jauhari, sebagian menekankan pada tafsir bil-manqul seperti tafsir Ibn Katsir. Di bawah ini contoh lain perbedaan ulum at-tafsir denganhermenutik di mana yang pertama membahas di dalamnya para ulama tafsir dan tingkatan-tingkatan mereka. Biasanya ada satu bab yang khusus membahas masalah tingkatan mufassir.
Perkembangan
Dari studi teks, hermeneutika mengalami perkembangan ke studi ektra teks dan ektra bahasa, yakni ke studi sejarah. Tokoh-tokoh yang mewarnai perkembangan hermenutik adalah Giambbattista Vico, Droysen dan Wilhelm Dilthey. Ketiga filsuf ini berlatar belakang studi sejarah. Vico hidup sejaman dengan Descartes, bapak filsafat rasional modern, yang kecenderungan doktrin filsafatnya lebih kepada ilmu alam dan matematika daripada sejarah. Kecenderungan semacam ini jelas sekali terpengaruh oleh keberhasilan revolusi ilmiah Kopernikus dalam disiplin astronomi dengan teori utamanya “helio sentris”, bahwa mataharilah yang menjadi pusat jagad raya menumbangkan teori “geosentris” yang telah sekian lama bertahan di atas panggung sejarah. Salah satu karya Descartes yang terkenal, namun dibukukan setalah dia wafat adalah “On The Earth” yang di antara isinya adalah penghargaannya terhadap eksperimen sebagai metode ilmiah yang tepat dan memberikan sumbangsih yang demikian besar terhadap perkembangan dan kemajuan dalam disiplin ilmu alam . Sedangkan terhadap sejarah, Descartes kurang ataubahkan tidak berminat membahasnya bahkan dalam suatu pendapatnya dia menyatakan, studi sejarah adalah ibarat masuk ke dalam hutan dan seseorang tidak menegetahui arah perjalanannya hendak ke mana. Terhadap pandangan inilah Vico memberikan respons yang bernada protes sekaligus berusaha memantapkan posisi sejarah untuk diletakkan dalam peta ilmiah. Menurut Vico, tugas sejarah mencakup dua poin’ pertama, berusaha memperoleh pemahaman yang benar dari peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi dalam lintasan wakta dan dalam tempat tertentu dan terpisah-pisah. Kedua, apakah peristiwa-peristiwa sejarah yang demikian berbeda-beda akan menghasilkan pengetahuan yang berbeda-beda yang merupakan karakteristik periode-periode sejarah.
Filsuf sejarah yang lain adalah Ranke, Droysen yang merupakan filsuf sejarah setelah Vico. Akan tetapi perhatian dan minat terhadap studi sejarah lebih karena terkena pengaruh romantisisme Herder dan Humboldt daripada pengaruh Vico. Herder membuat suatu rumusan untuk studi sejarah demikian, studi sejarah adalah upaya menjelaskan peristiwa-peristiwa sejarah menurut periodenya sendiri-sendiri serta nilai-nilai yang terdapat di dalamnya. Droysen juga terpengaruh oleh Schelling yang menjadikan sejarah di samping alam sebagai sumber pengetahuan. Alam sebagai obyek pengetahuan hanya bersifat dipahami atau intelligable, sdeangkan histori tidak hanya dapat dipahami, sejarah itu sendiri berkarakter intelligence, artinya di dalam sejarah itu sendiri ada unsure rasio, unsur pemikiran manusia yang berupa rancangan atau rencana ke depan. Ranked an Droysen menegaskan bahwa sejarah merupakan sains empirik dan harus dimulai dari fakta dan dibebaskan dari cara kerja Hegelian yang a priori spekulatif yang mengasumsikan mengenai ke mana tujuan perjalanan sejarah itu. Keduanya mengajukan argument bahwa peristiwa-peristiwa sejarah mempunyai logikanya sendiri dan karena itu sejarah harus dipahami menurut logikanya masing-masing peristiwa atau kejadian sejarah dibebaskan dari prinsip a priori. Tambahan lagi, menurut mereka berdua, periode-periode sejarah harus dipahami sebagai memiliki makna yang bersifat intern khas dirinya sendiri .
Droysen membagi obyek pengetahuan menjadi dua, alam dan mind. Makna mind adalah rasio, akal yang itu merupakan content atau inner mental yang hanya dimiliki oleh sejarah, tidak dimiliki oleh alam. Dari studi sejarah inilah dia masuk ke wilayah hermeneutik sebuah disiplin yang berkepentingan dengan “meaning”, yakni makna, Droysen merumuskan dua teori, a) teori pengalaman dan b) teori rekonstruksi. Teori pertama menunjuk kepada pengalaman manusia yang bersifat batini, inner life yang diekspresikan dalam proses sejarah, Teori rekonstruksi hermeneutik tidak sebatas memperhatikan fakta atau gejala inderawi melainkan menembus ke dalam untuk menjelaskan nilai-nilai, atau hal-hal yang berkenaan dengan inner life. Menurut penuturan Gadamer, Droysen merupakan filsuf pendiri madzhab sejarah, historical school, atau sering disebut juga dengan madzhab historisme. Madzhab ini muncul setelah melalui perdebatan dengan Hegelian. Pokok masalah yang menjadi perdebatan adalah masalah cara kerja atau cara menjelaskan sejarah. Droysen menolak cara kerja spekulatif Hegelian yang a priori teleologis. Bersama dengan Ranke, Droysen menghendaki studi sejarah haruslah empirik didasarkan atas dan dimulai dari fakta dan tidak secara spekulatif. Speculative philosophy of history, demikian cara pandang Hegelian ini disebut. Walsh dalam bukunya yang berjudul “Philosophy of History”, menjelaskan spekulatif Hegelian ini. Menurut Hegel, demikian Walsh, sejarah adalah intelligible process, sebuah proses yang dapat dipahami secara rasional tanpa penelitian fakta empirik .. Dengan memandang sejarah sebagai suatu proses, filsafat spekulatif mengandaikan sejarah ibarat sebuah perjalanan menuju ke suatu titik tujuan. Karena itu Spekulatif Hegelian adalah a priori teleologis. Dengan cara pandang teleologis ini, sejarah dijelaskan melalui secara rasional a priori dan tidak berkepentingan dengan fakta empirik. Sejarah dapat dijelaskan dengan pure reason, meminjam istilah Kant. Dalam makan yang popular, sejarah adalah nasib kolkektif umat manusia; nasib kolektif umat manusia Indonesia, misalnya, dapat dijelaskan dari sisi rasional a priori teleologis saja dan tidak perlu fakta empirik. Teleologis-spekulatif dapat menjelaskan tentang ke mana sejarah akan membawa nasib kolektif umat manusia, atau, nasib kolektif umat manusia ini akan dibawa ke mana? Jawaban dari pertanyaan ke mana adalah tujuan yang hendak dicapai oleh sejarah atau oleh para pelaku sejarah. Di samping tema teleologis, filsafat spekulatif juga berupaya menjelaskan pola-pola atau ritme sejarah. Apa yang dimaksud dengan pola-pola sejarah adalah pola-pola perubahan sejarah.secara garis besar, pola-pola perubahan sejarah dapat dipecah menjadi tiga; pola linier, pola sirkuler dan pola khaostik. Tema lain yang menjadi diskusi filsafat spekulatif menyangkut kekuatan yang mengubah sejarah, tentang the driving force terhadap perubahan. Pendekatan filsafat spekulatif Hegelian adalah “the whole”, sedangkan pendekatan empirik adalah partial karena berangkat dari fakta sejarah tertentu. Kedua pendekatan ini sudah tentu saling melengkapi dan bukan diletakkan dalam dua kubu yang berseberangan. Pendekatan the whole memberi pedoman kerja tetapi kosong data empirik; bahwa suatu kejadian sejarah tertentu memiliki tujuan masa depan sedangkan data empirik menjadi bahan baku menurut standard ilmiah untuk kemudian dijelaskan dengan bantuan guiding principles yang disediakan oleh pendekatan spekulatif. Apakah perubahan sejarah tertentu disebabkan oleh kekuatan riel yakni materi atau ekonomi, ataukah disebabkan oleh ide. Demikian pula mengenai pola perubahan apakah masuk kategori linier, sirkuler ataukah kaostik. Pendekatan the whole, misalnya, bangsa Indonesia. Dengan cara kerja a priori rasional, sejarawan menjelaskan hal-hal yang terkait dengan tema spekulatif. Periode sejarah yang menjadi subject-matter misalnya, bangsa Indonesia pada masa penjajahan dan bangsa Indonesia pasca penjajahan. Sementara pendekatan partial terhadap kejaian-kejadian yang individual memberi fakta konkrit menegenai perang Diponegoro, perang padri pada masa penjajahan.
Beberapa tesa Droysen mengenai sejarah dapat diringkas sebagai berikut;
a. memahami makna dari kejadian sejarah harus dengan menjelaskan apa motivasi pelaku sejarah di balik kejadian sejarah denagn cara kita bertanya kepada diri sendiri, problema apa yang ingin dipecahkan dengan cara tertentu ini,
b. memahami sejarah tidak hanya sebatas memahami situasi kesejarahan melainkan juga rancangan-rancangan apa yang dipersiapkan oleh para pelaku sejarah. Setiap rancangan atau rencana mengandung tujuan dank arena itu berhubungan dengan masa depan. Masa depan adalah tujuan yang sipersiapkan dengan dan melalui rencana.
c. Memahami sejarah juga memahami sesuatu yang inner melalui hal-hal yang lahiriah tertangkap indera seperti memahami tujuan-tujuan, keyakinan-keyakinan atau spirit yang menjadi kekuatan dorong .
Meskipun Droysen menolak cara kerja spekulatif a priori, namun dia juga tidak bisa menerima sepenuhnya cara positivisme yang berkeras mengangkat sejarah sejajar dengan sains dalam hal ini sains alam. Dia menolak metode analisis kuantitatif Buckley untuk diterapkan pada sejarah. Metode ini dapat mereduksi perubahan-perubahan sejarah karena dijelaskan dengan hukum kausalitas yang hanya menekankan pada faktor eksternal. Dengan metode ini, inner life tidak akan muncul atau akan terabaikan sama sekali sama sekali padahal di sanalah makna hidup dari human life ditentukan ..
Filsuf lain yang masuk ke hemeneutika serta memiliki latar belakang studi sejarah adalah Wilhelm Dilthey (1833-1911). Seperti Droysen, dia juga menggagas bahwa sejarah adalah ilmu empirik dan karena itu harus dibebaskan dari cara kerja spekulatif Hegelian. Dilthey pada awalnya adalah mahasiswa psikologi, kemudian mencurahkan perhatiannya pada studi biografi. Dialah the founder falsafah yang dikenal dengan “Lebensphilosophie, atau philosophy of Life yang menarik perhatian Husserl (1859-1934) pada tahap akhir perjalanan filsafatnya setelah dia menyelesaikan filsafat fenomenologi. Setelah memfokuskan perhatiannya pada studi biografi, Dilthey masuk ke wilayah studi sejarah dan kemudian mengkonstruk Geisteswissenschaften yang secara garis besar mendiskusikan obyek dan metodologi. Obyek geisteswissenschaften adalah social humaniora; artinya, ilmu ini adalah ilmu tentang manusia, ilmu yang akan berusaha memahami manusia. Persoalan lain muncul terkait dengan metode yang cocok untuk geisteswissenschaften atau human science termasuk di dalamnya studi sejarah dan sosiologi..
Dari studi sejarah, Dilthey kemudian memasuki kancah hermeneutika; implikasinya jelas, terjadi perluasan wilayah garapan hermenutik dengan menjangkau struktur simbolik termasuk tingkah laku sosial, kehidupan sosial, norma dan nilai sosial. Persoalan yang dia ajukan, " mungkinkah pemahaman terhadap makna (meaning) dapat diangkat sejajar dengan ilmu-ilmu alam secara metodologis? Dapatkah ditemukan fondasi metodologi yang solid untuk Geisteswissenschaften? Sebelumnya dia telah menegaskan bahwa Geisteswissenschaften sebagai sebuah disiplin, memiliki logikanya sendiri yang otonom atau "the autonomy of the logic of the Geisteswissenschaften" dan dia membedakan dari logika yang berlaku pada ilmu alam.. Ilmu ini mengkaji sejarah, penafsiran teks, investigasi norma dan institusi sosial serta kehidupan sosial dengan tekanan mencari makna di balik ucapan, kalimat atau perbuatan seseorang; sesuatu yang secara logis tidk ada pada gerak-gerik benda-benda alam. Inilah di antara yang dimaksud dengan logika otonom yang terdapat dalam disiplin ini. Dari perbedaan logika dua disiplin ini Dilthey kemudian membicarakan implikasinya, yakni struktur. Perbedaan logika berimplikasi pada munculnya perbedaan struktur antar Geisteswissenschaften dengan ilmu alam. Yang pertama disiplin yang berupaya memahami "meaning" sedangkan ilmu alam berupaya menjelaskan fenomena alam, atau hubungan antar fenomena, secara ilmiah yang disebut oleh Dilthey sebagai metode explanation. Explanataion adalah metode menjelaskan fenomena alam atau gerak-gerik benda-benda alam didasarkan atas kerangka kerja ilmiah dalam upaya menemukan hukum kausal atau menemukan teori dan hukum, missal hukum gas, hukum atau teori gravitasi. Namun demikian Dilthey mengakui bahwa dua disiplin yang berbeda ini merupakan sains obyektif. Dengan demikian Geisteswissenschaften harus menjaga ke obyektifitasan ini sehingga dapat diterima oleh semua ilmuwan atau para peneliti yang bergerak dalam disiplin ini. Tesa Dilthey bahwa Geisteswissenschaften memiliki logikanya sendiri yang otonom tidak dipertanyakan oleh kaum positivis abad dua puluh akan tetapi mereka mempertanyakan masalah struktur geisteswissenschaften yang dibedakan dari struktur alam. Pembedaan structural ini yang tidak dapat mereka terima. Menurut mereka, jika kedua disiplin ilmu dibangun atas dasar fakta obyektif, maka geisteswissenscahten harus mensejajarkan diri dengan ilmu alam dalam standard kerja . Ini berarti proses penelitian ilmu sosial humaniora harus mengadop ilmu alam mulai observasi, merancang hipotesis sampai memuncak ke rumusan teori atau hukum. Dilthey tidak memberikan perhatian khusus terhadap keberatan kaum positivis ini, sebaliknya ia tetap dalam pendirinnya bahwa perbedaan struktur benda-benda alam dengan geisteswissenschaften merupakan fakta empiric yang tidak dapat dibantah sehingga logiaka atau metode yang digunakan untukmenjelaskan gereak-gerik benda-benda alam dengan gerak gerik human life harus dibedakan atas dasar fakta empirik yang memang berbeda. Metode untuk human life bukan explanation melainkan understanding.
Konsep dikhotomis ini ternyata memiliki pengaruh yang cukup signifikan. Dikatakan demikian karena pengaruh itu merambah ke luar wilayah hermeneutik, yakni para filsuf bahasa yang pada paruh kedua abad dua puluh (kira-kira tahun 1960 an seperti Wittgenstein, Serle, Ayer tertarik mendiskusikan tema ini. Pertanyaan yang muncul, adakah upaya menghapus dikhotomi explanation dan understanding? Jawabnya, ya. Dan upaya itu harus menunggu kehadiran Habermas dan Paul Ricoeur. Melalui paradigma dialektis, Ricoeur mengutarakan bahwa "pemahaman" membutuhkan "penjelasan" demikian sebaliknya, penjelasan membutuhkan pemahaman. Dua metode ini tidak lagi dipertentangkan, sebaliknya, dua metode ini harus saling melengkapi satu dari yang lainnya dalam momen-momen penafsiran yang rumit Ketika saya tidak bisa memahami secara langsung, saya membutuhkan penjelasan, ketika saya menerima penjelasan dan ternyata masih menyisakan sesuatu, saya membutuhkan pemahaman. Penjelasan sebagai metode ilmu alam adalah menjelaskan hubungan antar gejala; kondisi saat ini wabah penyakit diare dijelaskan dengan menghubungkan dengan kondisi yang terjadi sebelumnya banjir dan sampah; kondisi banjir saat ini dihubungakn dengan kondisi sebelumnya, hutan gundul akibat pebengan yang tak terkendali. Struktur kerja dari metode “explanation” adalah penjelasan antar gejala dalam hokum kausalitas. Sementara struktur memahami, atau metode memahami adalah memahami motivasi atau memahami inner life batin manusia yang menjadi kekuatan dorong mengatakan sesuatu atau melakukan tindakan sesuatu. Motif adalah sesuatu yang inner batini dan tak tersentuh model penjelasan kausalitas. Dalam menafsirkan teks atau konsep gagasan pikiran seseorang, apa yang ditafsirkan adalah apa makna di balik ungkapan itu, dan yang terakhir ini tidak terdapat dalam benda-benda alam. Benda-benda alam bisa melahirkan bunyi atau suara ketika benda itu dipukul; artinya ada factor luar diri dari benda itu yang menyebabkan benda itu mengeluarkan bunyi. Sebaliknya, manusia tidak hanya melahirkan bunyi atau suara, lebih dari itu dia pandai bicara meski pembicaraannya tidak harus pandai. Manusia berbicara atau berkata tidak karena alas an disebabkan oleh factor luar diri, tetapi banyak terjadi seseorang berbicara karena di dalamnya punya tujuan tertentu. Explanation tidak cocok untuk Geisteswissenschaften, demikian pendapat Dilthey.
Tetapi, penafsiran ternyata menghadapi obyek yang unik khas dan terkait dengan momen-momen yang rumit sehigga tidak hanya cukup dengan memahami melainkan juga menjelaskan. Ada tindak pembunuhan, pertanyaannya mungkin tidak sebatas, apa motivasi pelaku, tetapi jug membutuhkan kondisi-kondisi eksternal yang menjadi pendorong (stimulus) tindakannya itu, mungkin faktor vedio porno, mungkin factor ekonomi, mungkin faktor di phk perusahaan secara mendadak atau faktor lain yang bersifat eksternal. Sementara Habermas menggunakan paradigma psikoanalisis . Ahi psikoanalisis menghadapi pasien jiwa yang omongannya tidak mengarah, nglantur, keluar garis logika nalar umum (common sense). Orang tidak menanyakan apa motive dia mengomel tiada henti dan tida arah yang jelas. Ahli psikoanalisis terkadang membutuhkan sebab-sebab historis yang mungkin sagak jauh jaraknya, mengenai masa mudanya dahulu apa menyimpan titik-titik traumatik dan baru muncul saat ini. Mungkin pada masa kecilnya, dia menyaksikan sendiri kedua orang tuanya dibantai secara kejam oleh kawanan perampok. Tetapi ahli psikoanalisis cukup dengan sebab jarak dekat, misalnya, baru saja diputus pacar dan ditinggal kawin dengan orang lain secara mendadak. Terlepas, apakah sebab jauh atau dekat, bahwa model penjelasan dibutuhkan guna melengkapi model memahami. Sering pula terjadi, motifasi dari ucapan atau tindakan itu terkadang atau sengaja tidak disampaikan secara transparan. Apa motivasinya membebaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum?
. Ricoeur menyatakan, “terhadap suatu tingkah laku atau pikiran manusia, suatu saat kita bertanya tentang sebab (faktor eksternal), suatu saat kita bertanya alasan (reason), suatu saat kita mempertanyakan "sense" suatu saat kita bertanya "why" . Di sini Ricoeur menegaskan bagaimana pentingnya dua metode itu untuk saling melengkapi.
Setelah Dilthey, sarjana hermeneutis yang banyak sumbangsihnya terhadap upaya membangun hermeneutika menjadi sebuah disiplin adalah Emilio Betti. Seperti Dilthey dan Schleiermaacher, dia menempatkan hermeneutika dalam ruang epistemologi sebagai proses atau sebagai metode penafsiran. Betti lebih banyak sumbangsihnya pada level praktis daripada teoritis Pada level praktis, Betti mengajukan banyak konsep yang membantu pihak lain mengoperasionalkan hermeneutik untuk penelitian seperti nanti akan diturunkan pada tempatnya di bab dua dari buku ini.
Bleicher membagi hermenutik kontemporer menjadi tiga aliran sebagaimana terlihat jelas dalam karyanya “Contemporary Hermeneutics, hermeneutics as method, philosophy and critique; yakni hermeneutik teori, hermeneutik filsafat dan hermenutik kritik (hermeneutical theory, hermeneutic philosophy and critical hermeneutics). Pengindonesiaan di atas dimaksudkan untuk menghindari tumpang tindih istilah. Maksudnya, jika “hermeneutical theory” kami indonesiakan dengan “teori hermeneutik” maka akan terjadi tumpang tindih istilah yang demikian berdekatan. Hermenutik teori dimaksudkan adalah satu nama dari aliran yang terdapat dalam hermeneutic sedangkan jika diterjemahkan dengan “teori hermeneutic”, pengertiannya akan lain karena teori akan merujuk sejumlah konsep atau tesa atau doktrin hermeneutik.Demikian pula untuk istilah “hermeneutik kritik” dan bukan “kritik hermeenutik; yang pertama menunjuk kepada nama sebuah aliran, yang lainnya sebagai analasis.
Dari Perkembangan ke Perubahan
Kami telah membahas perkembangan hermeneutik dari filologi sampai ke wiesteswissenschaften. Perkembangan tersebut masih berada pada ruang epistemologi ruanga yang membicarakan tentang bagaimana pengetahuan itu mungkin diperoleh manusia melalui hermenutik sebagai metodologi penafsiran untuk memperoleh pemahaman. Betti mengatakan bahwa pemahaman merupakan hasil dari penafsiran yang obyektif . Jadi dari Spinoza, Schleiermacher sampai dengan Betti apa yang terjadi dalam hermeneutik adalah perkembangan konsep dan teori namun perkembangan itu tetap berada dalam ruang epistemologi.
Perubahan wacana hermeneutik yang bersifat substantif terjadi ketika diskusi hermenutik berpindah dari ruang epistemologi ke ruang ontologi. Inilah yang kami maksud dengan perubahan. Ia tidak lagi perkembangan melainkan benar-benar ada perubahan. Adalah Heidegger (1889-1976) filsuf yang mengubah wacana diskusi hermenutik dari ruang epistemologi ke ontologi. Heidegger adalah salah satu dari murid Edmund Husserl, pendiri fenomenologi seperti telah dibicarakan pada bab sebelum ini. Akan tetapi tesa-tesa tentang eksistensi manusia tampak lebih dipengaruhi oleh aliran filsafat existensialisme yang dibangun oleh Kirkergaard. Eksistensialisme mendiskusikan eksistensi manusia dsengan caranya sendiri yang khas sehingga tidak semua filsafat yang membahas eksistensi manusia dapat dikatakan sebagai eksistensialisme. Sebagai aliran yang memiliki cirri khas, aliran ini tidak lagi mau membicarakan dan atau bahkan menghindari mendiskusikan hakekat manusia sebagaimana dalam tradisi filsafat eksisensi manusia yang mempersoalkan hakekat manusia apakah jiwa ataukah materi. Aliran ini memfokuskan prsoalan menegai cara berada manusia di atas dunia ini. Ada dua tema besar yang menjadi focus aliran ini; pertama tentang esensi dan eksistensi, kedua apa peran yang harus diemban manusia di dunia ini Konsep Heidegger being in the World, dapat disebut sebagai indikator bahwa dia berangkat dari aliran filsafat ini. Konsep di atas dituangkan dalam karyanya, Being and Time. Bahwa eksistensi manusia bersifat terbukan, selalu dalam proses becoming (menjadi) melintas dalam temporal continuoum (temporality atau time) dan beregrak dalam historicality, sejarah yang memberi pengalaman dan kesadaran akan adanya perkembangan kea rah yang lebih maju. Dua istilah pengalaman dan kesadaran, berasal dari Husserl. Kesadaran sejarah adalah kesadaran akan gerak perkembangan. Dan bahwa kesadaran yang bersifat imemanen, selalu menciptakan aktivitas kesadaran yang menembus batas-batas imanen memasuki wilayah transenden; bahwa pemikiran dalam sejarah atau sejarah pemikiran mengalami perkembangan terus. Sebagai eksistensi yang terbuka, manusia terus dalam proses menjadi melalui gerak dalam lintasan waktu. Manusia bukan eksistensi yang tertutup.
Dalam tema esensi dan eksistensi, aliran eksistensialisme berpendapat bahwa eksistensi mendahului esensi. Esensi adalah wujud atau gambar lahiriah (suratun dzahirah) sedangkan eksistensi merupakan unsure batini yang diartikan demikian, bahwa konsep eksistensi ada terlebih dulu sebelum direlisasikan dalam esensi lahiriah. Contoh konkrit yang biasanya diajukan, seorang pembuat pedang telah memiliki konsep eksistensial mengenai pednag yang akan dibuat; untuk apa atau peran apa yang akan diemban oleh pedang. Setelah konsep eksistensial ini matang, tukang pedang pun bergegas merealissikan wujud pedang secara esensi. Denganmelakukan sedikit pengubahan, Heidegger memilah antara Being of Dasein (human existentiales) dan Being dalam arti entitas (sein). Apa yang dia tegaskan, hanya Being of Dasein yang berkarakter pemahaman. Atau dia juga mengatakan bahwa pemahaman adalah Dasein itu sendiri. Pemahaman adalah suatu konsep ontologi yang fundamental yang merujuk kepada Being of Dasein. Manusia adalah binatang yang berakal, demikian pandangan tradisional yang telah akrab dengan kita. Kini, manusia adalah makhluk yang memahami. Heidegger menyatakan, "knowledge is mode of Being of Dasein as Being in the World". Bandingkan dengan konsep yang bersumber dari Qur'an tentang "khalifah fil ardl; jika konsep "khalifah" adalah merujuk kepada human existeniales dan tidak menunjuk kepada being lain selain manusia, maka, khalifah adalah the mode of Being of Dasein as Being in the world. Uji kemampuan terkait dengan potensi fundamental yang terdapat dalam diri Nabi Adam seperti dalam ayat lain, wa 'allama Adam al-asma kullaha…(al-Baqarah).
Kita kembali ke Heidegger. Menurutnya, pemahaman dan penafsiran tidak perlu dibedakan. Pemahaman tidak harus didahului oleh penafsiran. Pemahaman bisa ada tanpa melalui penafsiran. Bahkan dia menegaskan bahwa pemahaman yang diperoleh lewat aktivitas menafsirkan pikiran orang lain merupakan inauthentic understanding, yakni pemahaman yang bersifat inautentik atau tidak sejati karena diperoleh melalui proses penafsiran terhadap pikiran orang lain. Di sini seseorang memahami milik orang lain bukan memahami pikirannya sendiri atau bukan aktivitas menyampaikan atau memperkenalkan pemahamannya kepada orang lain. Dalam hal ini, seseorang memperoleh pemahaman tetapi bukan murni miliknya sendiri melainkan diperoleh setelah proses menafsirkan milik orang lain.
Sebelum memasuki doktrin ontologi Heidegger, penyusun minta ijin membuat gambaran yang bersifat menyederhanakan redaksi tanpa bermaksud menyederhanakan substansi. Pemahaman bukan hasil dari proses menafsirkan. Tanpa ada aktivitas menafsirkan, manusia sebagai Being of Dasein memang berkarakter. "pemahaman", atau memahami. Pemahaman tidak datang setelah penafsiran; atau bahwa penafsiran ada lebih dahulu baru pemahaman. Penafsiran dan pemahaman tidak harus dipahami yang satu lebih dulu dari yang lain. Kita bisa memahami lebih dahulu baru setelah itu kita menafsirkan, demikian Heidegger, what is understood is to be interpreted, apa yang sudah difahami dan kemudian ditafsirkan. Ini sebuah ungkapan yang bernuansa protes. Seseorang yang beragama Islam paham bahwa dia sedang berjalan menuju masjid untuk menunaikan shalat. Dia paham bahwa shalat maghrib adalah wajib dalam agama Islam. Setelah shalat, dia paham bahwa dia membaca al-Qur'an dan dia paham bahwa dia juga paham makna ayat-ayat yang dia baca, atau sebaliknya, dia paham bahwa dia tidak paham makna ayat yang dia baca. Meskipun demikian ia tetap berusaha menjelaskankepada orang lain bahwa meskipun dirinya tidak memahami arti yang dibaca, tetapi membaca al-Qur'an merupakan salah satu cara menegaskan diri sebagai seorang Muslim
.
Oleh Heidegger, pemahaman dipindah dari satu ruang ke ruang lain atau konkritnya dari ruang epistemologi ke ruang ontologi; di ruang ini tidak lagi mempertanyakan tentang bagaimana saya memperoleh pemahaman. Pemahaman bukan hasil dari sebuah proses metodis, pemahaman adalah the mode of being of Dasein. Dasein adalah eksistensi manusia. Pemahaman merupakan mode keberadaan manusia. Pemahaman merupakan karakter potensial yang ada dalam diri manusia sebagai Being of Dasein. Pemahaman merupakan konsep ontologi yang fundamental.
- Being in the world.
Disamping doktrin "pemahaman" tidak lagi sebagai problem epistemologi melainkan sebagai konsep ontologi yang fundamental, tesa filsafat Heidegger lainnya yang terkenal adalah Being in the World. Doktrin ini muncul dari latar belakang diskusi epistemologi. Dalam tradisi epistemologi semennjak Plato sampai hermeneutik dan fenomenologi, selalu muncul konsep subyek dihadapkan dengan obyek. Sebagai filsuf pencetus analisis being, Heidegger memengambil cara yang berbeda dari mereka. Sebelum subyek dan obyek ditempatkan dalam dua titik yang berhada-hadapan, subyak dan obyek adalah milik dunia (world). dia menggantikan konsep subyek obyek menyatu dalam konsep, "being". Daripada menggunakan kata-kata " both subject and object in the World", dia memilih " being in the World. Dan konsep. Heidegger melebur Subyek obyek menjadi "being". Dan being di sini menunjuk kepada being of Dasein dan being of thing. Ada yang mengomentari gerakan Heidegger ini sebagai "the movement from the problem of method towards the problem of being ., atau cukup kita katakan, gerakan being. Teori pengetahuan model Heidegger ini digambarkan sebagai "being encaounter being" menggantikan tradisi sebelumnya yang menempatkan obyek di satu titik dengan subyek di titik lain yang saling berhadapan. This Dasein is not a subject for which there is an object, but rather being within being . Dasein yang dimaksudkan di sini bukan dalam posisi subyek karena di sana ada obyek melainkan lebih berarti “being di dalam being. Being yang pertama adalah being of Dasein, yakni eksistensi manusia sedangkan being yang lainnya berarti being of the thing. Kedua being ini secara bersama ada di dalam the world.
"Being and Time" adalah sebuah karya Heidegger yang terkenal. Anthony Giddens penggagas teori strukturasi yang insya Allah akan penyusun turunkan seetelah bab ini, mengakui bahwa dirinya terpengruh oleh karya Heidegger ini. Apakah persoalan riel dari karya ini? …”the real queation was not what way being can be understood "what way understanding is being”; pertanyaan riel dari karya ini bukan mengenai bagaimana being dapat dipahami melainkan bagaimana menjelaskan bahwa pemahaman adalah being. Heidegger menegaskan bahwa pemahaman adalah being. Dengan tesa ini dia ingin menegaskan bahwa pemahaman menggambarkan karakteristik khas eksistensi Dasein. . Dalam perkembangan selanjutnya istilah pemahaman menjadi istilah yang paling sering digunakan dalam diskusi hermeneutik daripada istilah awal, yakni penafsiran. Jika seseorang menghadapi proposisi yang tidak difahami, maka dia membutuhkan proses atau langkah apa yang cocok untuk mengubah sesuatu yang tidak difahami menjadi difahami. Bahkan oleh Dilthey, istilah ini diangkat statusnya menjadi sebuah metode yang cocok untuk ilmu-ilmu tentang manusia. Sebagai metode, understanding dilawankan denngan explanation. Dua metode yang diletakkan dalam dua kubu yang berseberangan sempat menjadi bahan diskusi dalam teori pengetahuan cukup lama.
Gadamer adalah filsuf yang seing dikelompokkan dalam kubu Heidegger, akan tetapi, dia tidak meneruskan problema being model Heidegger, tetapi, kata Ricoeur, dia kembali mendiskusikan problema metodologi. Gadamer menyatakan demikian,
" The principle of hermenutics simply means that we should try to understand everything that can be understood. This is what I meant by the sentence, "being that can be understood is language" .
…."Being yang dapat dipahami adalah bahasa. Bahasa sebagai being, sedangkan Heidegger mengatakan bahwa pemahaman adalah being. Mungkin, jika ada beberapa penjual bakso yang menguasai filsafat ini juga akan mengajukan tesa yang mirip dengan diskusi di atas, hanya materinya, sudah tentu bukan bahasa atau pemahaman sebagai being melainkan sesuai dengan profesinya, dia akanmenyatakanbahwa apa yang dijual olehnya adalah being.
Cara menjelaskan bahwa pemahaman adalah being tampak amat sederhana dan tidak rumit. Pemahaman, demikian Heidegger, merupakan eksistensi khas manusia sebagai being of Dasein.Pemahaman bukan being yang ada pada being lain yang bukan manusia. Karena itu terkadang kita membaca beberapa komentar di sekitar ini demikian, problema ontologi adalah problema being in the being.
10. Wilayah pemahaman
Wilayah kerja pemahaman mencakup berbagai macam aktivitas mulai dari komunikasi antar sesama sampai masalah manipulasi sosial, mulai dari pengalaman personal individu sebagai warga masyarakat sampai dengan cara bagaimana dia memahami kehidupan dalam masyarakat dan bermasyarakat, mulai dari masalah tradisi yang bersumber dari agama, masalah hukum, masalah perkembangan pemikiran filsafat, karya seni sampai revolusi kesadaran yang masuk ke wilayah tradisi agama melalui refleksi emansipasi .
Sementara itu Paul Ricoeur berpendapat bahwa pemahaman muncul dalam hubungannya dengan situasi saya, atau dalam hubungannya dengan posisi saya dalam suatu keadaan. Di dalam situasi itulah pemahaman muncul meski masih bersifat mendasar Bultman menggunakan jenis pemahaman semacam ini sebagai pre undersanding, atau prejudice, menggunakan istilah Gadamer.
Dua pandangan di atas dari Gadamer dan Ricoeur yang terkait dengan wilayah kerja pemahaman bertemu dalam satu titik, meskipun keduanya tidak secara eksplisit mengatakannya, yakni, wilayah empirik.
Konsep situasi, komunikasi sesama, masalah manipulasi sosial, masalah hubungan individu dalam dan dengan masyarakat, masalah kesadaran yang mmbangkitkan gerakan emansipasi, adalah masalah-masalah yang akrab dengan situasi dan kondisi empirik.
11. Beberapa istilah dalam struktur pemahaman
Pre understanding. Mis understanding. Non understanding dan false understandin.Salah satu dari tujuan hermeneutik filsafat membebaskan Dasein dari pemahaman yang salah (false understanding).
Pre understanding adalah pemahaman awal. Sumber pemahaman ini salah satunya dari tradisi agama melalui komunikasi sesama atau melalui guru ngaji. Pre understanding ini antara lain, surga, bidadari, neraka, penyiksaan kubur, pahala, dosa, taubat dan lain-lain, Seorang Muslim yang membaca al-Qur'an mempunyai pemahaman awal bahwa membaca al-Qur'an merupakan ibadah. Pemahaman ini berhubungan dengan Situasi dia yang sedang membaca al-Qur'an, tetapi ketika dia sedang terlibat dalam sebuah diskusi makalah dalam suatu situasi tertentu, pemahaman yang dimilikinya bukan lagi pre understanding, bahwa terlibat dalam situasi diskusi adalah ibadah, melainkan benar-benar self understanding yang mencapai tingkat kualitatif. Seorang pemeluk agama tertentu, misalnya, Islam, sudah tentu telah memiliki pre understanding mengenai istilah-istilah di atas; surga, neraka, pahala, siksa kubur dn lain-lain.
Konsep-konsep mis understanding, false understanding, merupakan konsep-konsep amat tipis perbedaannya atau hampir tidak ada perbedaan antar keduanya. Dalamkomunikasi sehari-hari sering terjadi mis understanding. Misunderstanding bisa membawa kepada situasi tegang, kontradiks dan menjadi gangguan yang mengancam komunikasi. Misunderstanding terjadi mungkin disebabkan oleh perkembangan bahasa, oleh adanya jarak pengetahuan, jarak ide dan skill yang dimiliki atau oleh adanya perubahan-perubahan aturan tertentu.
Seseorang adalah subyek dalam sebuah situasi. Jika terjadi perpindahan situasi atau perubahan situasi akan berpengaruh pada pemahaman. Dalam situasi bahsul masail yang di adakan oleh NU, misalnya, seseorang paham bahwa dirinya tidak bisa mengikti tema-tema yang dibahas dalam Kitab kuning. Daripada terasing di dalam situasi bahsul masail, dia lebihmemiliki situasi yang kondusif bagi dirinya.
Pemahaman dan situasi ibarat dua sisi dari satu mata uang.
"the understanding in its primordial sense, is implicated in the relation with my situasion , … "dalam pengertian yang dasariah, pemahaman itu bersangkut paut dengan atau muncul berkenaan dengan hubungan saya dalam situasi. Apakah saya dalam sitasi itu punya self understanding? Apakah saya dalam situasi mengalami non atau mis understanding atau false understanding? Misalnya, saya masuk dalam situasi pasar modal yang sama sekali asing bagi saya. Saya sudah dapat mengukur diri dalam situasi tersebut tingkay pemahaman diri saya sendiri. Dan saya telah merasakan diri saya terasing dalam situasi; saya merasa asing (alienation). Ini disebabkan ada distanction (jarak) antara saya dengan situasi, misal, jarak konsep, jarak ide, jarak gagasan, jarak bahasa.
Gadamer adalah filsuf lain yang menjadi penghuni aliran hermeneutik filsafat. Namun ada yang membuatnya berbeda dari pendahulunya, Hidegger, karena dia bergerak kembali ke problem metodologi. Kondisi ini diungkapkan oleh Ricoeur mupun David Linge. Dalam memberikan komnetar terhadap upaya Gadamer, Ricoeur berkata demikian, "the beginning of the movement of return from ontology towards epistemological problem ; bahwa karya Gadamer merupakan awal gerakan kembali dari problema ontologi ke epistemologi. Tugas penafsiran dan pemahaman, demikian Gadamer, masih tetap yakni proses memahami atau menafsirkan makna . Seperti akan kita bahas pada bab dua nanti teori-teori Gadamer yang bersifat aplikatif untuk penelitian
12. Hermeneutik kritik
Apa yang telah kami diskusikan sebelum ini adalah hermeneutik sebagai epistemology danhereneutik sebagai ontology atau hermeneutic filsafat. Setelah dua aliran hermeneutic di atas, muncul satu lagi, yakni hermeneutik kritik.Hermenutik kriik lahir dari latar belakang dua aliran di atas. Habermas melihat Habermas melihat dua aliran hermeneutik yang telah ada tidak mempertimbangkan faktor extra linguistic sebagai kondisi yang punya pengaruh terhadap pemikiran atau perbuatan seseorang. Misalnya, teknan ekonomi yang dirasakan demikian berat, berpengaruh pada temperamen seseorang dan ini berpeluang menjadi factor eksternal yang berpengaruh pada tata piker dan prilaku seseorang. Warisan yang diberikan hermeneutik adalah upaya mengubah realitas daripada sekedar menafsirkannya. "the legacy is the demand to change reality rather than merely interpreted it . Di halaman lain dinyatakan, psychoanalysis as amodel for social science with an emancipatory intent .
Hermeneutik kritik sering dikaitkan sebagai cara pandang kaum idealis yang memiliki tingkat kesadaran yang mencapai level tertentu dalam menganalisis secara kritis kondisi politik, ekonomi dengan tetap mendasarkan diri pada data atau bukti-bukti material yang memadai dan mereka memiliki kesadaran melakukan pembebasan seperti model psikoanalisis. Paradigma hermeneutik kritik adalah paradigma psikoanalisis . Ahli psikoanalisis yang memnghdapai pasien yang terkena gangguan jiwa; sang pasien bicaranya nglantur, keluar dari logika umum atau batas-batas kewajaran. Ahli psikoanalisis bertugas tidak hanya menganalisis omongannya, melainkan berupaya menyembuhkan atau mengembalikan depth understanding pasien yang terganggu menjadi normal kembali. Depth hermeneutic punya muatan emancipation. Depth hermeneutic (hermeneutik yang mendalam), istilah lain untuk menyebut hermeneutik kritik, bertujuan menjelaskan pola-pola ucapan yang sulit dipahami oleh orang lain (termasuk para hermenutisi) karena ucapan-ucapan itu keluar dari organisasi bahasa itu sendiri . Pokok dari teori psikoanalisis meyatakan bahwa ada faktor eksternal atau ada kondisi eksternal yang mempegaruhi ucapan atau tindak perbuatan seseorang. Oleh sebab itu, diperlukan causal explanation dan tidak hanya motivational understanding.
Setelah melihat dari sisi paradigmanya. Kini, kita melihat dari sisi sejarah. Kita melangkah surut ke belakang. Kita menemui Gadamer. Dia berupaya merehabilitasi prejudice (prasangkat) dalam kaitannya dengan tradisi dan otoritas. selama ini prasangka (prejudice) ditempatkan di luar lapangan permainan ilmiah oleh karena kuatnya pengaruh Descartes dan Kant yang menempatkannya sebagai rasa emosional daripada rasional. Gadamer menegaskan bahwa prasangka adalah bagian dari understanding karena di dalamnya ada unsur rasional. Dengan memasukkan unsur rasional ini, Gadamer memberi tiket kepada prejudice sekasligus memperoleh hak masuk dalam permainan ilmiah dan tidak sekedar dudiuk di bangku cadangan. Dari antara prasangka ini adalah prasangka terhadap otoritas, dominasi serta terkadang violence (kekerasan, maksudnya, menggunakan kekerasan). Konsep ini menjadi konsep sentral Max Weber tentang sosial politik Dia menyatakan, "the state is the institution par exellence which rest on a belief in the legitimacy of its authority and its right to use violence in the last instance "Negara adalah sebuah institusi.yang tertinggi yang didasarkan atas keyakinan terhadap legitimasi memegang otoritas dan hak-hak untuk menggunakan kekarasan misalnya..
Setelah membahs singkat tentang paradigma dan kesejarahan, masalah lain adalah apa yang terkait dengan makna. Persoalan makna memperoleh jawaban yang berbeda-beda dari mereka para penumpang aliran hermeneutik kritik. Sandkuhler memahami kritik sebagai rekonstruksi melalui penelitian yang cermat terhadap asal muasal munculnya fenomena intelektual (dalam sosial, budaya, ekonomi). Apel, Habermas dan Lorenzer memahami kritik sebagai self-reflextion dan pembebasan. Mereka menggunakan paradigma psikoanalisis. Psikoanalisis dipandang sebagai sains yang membebaskan, yakni, membebaskan pasien jiwa yang depth understanding nya terkena gangguan sehingga bisa kembali pulih dan sembuh. Karena itu, hermeneutik kritik disebut juga dengan dept hermeneutics. Istilah depth adalah istilah pinjaman dari psikoanalisis. Keduanya mengemban misi membebaskan pasien dari kondisi sakit. Bedanya, psikoanalisis wilayahnya adalah individual life yang terkena jiwanya terganggu ; hermenutik kritik wilayah garapannya adalah social life yang terganggu oleh satu dan lain hal dan hermeneutic kritik selalu merujuk pada kekuasaan. Konkrit yang dicontohkan seperti sensor, cekal, atau penggunaan kekerasan atas nama kekuasaan dan memperthankannya dari berbagai gangguan. Kritik ideologi fokus kajiannya adalah analisis terhadap dominasi kekuasaan terkait isu-isu penggunaan kekerasan, pemberian cekal, sensor penerbitan berita, pelanggaran HAM, masalah perburuhan, carut marut penataan kota, reklame, mengatasi illegal loging, pemberantasan korupsi yang terkesan sulit, penegakan hokum, tebang pilih dll.
Tulisan-tulisan Habermas menjadi sumbangsih yang penting bagi sejumlah masalah yang ada dalam metodologi ilmu sosial. Salah satu dari masalah ini berkenaan dengan hubungan antara explanation dengan understanding yang menjadi topik kontroversi yang terus menerus sejak tulisan awal Dilthey.
Kontribusi pokok Habermas terhadap kontroversi ini didasarkan atas penggunaan psikoanalisis sebagai model teori kritik. Sebagai bentuk hermeneutik yang mendalam (depth hermeneutics atau nama lain dari critical hermeneutics), psikoanalisis mengaplikasikan hipotesis yang bersifat menjelaskan guna memahami ekspresi-ekspresi yang awalnya tidak bisa difahami. Hipotesis itu berasal dari interpretasi umum yang menentukan proses pembentukan diri (self-formative) sebagai rangkaian keadaan yang sistemik yang mirip-hukum (law-like), dan yang menghubungkan distorsi komunikasi dengan bercampur aduknya ungkapan-ungkapan simbolik yang membingungkan. Adalah dengan cara melangkah surut ke belakang kepada sejarah perkembangan masa kanak-kanak yang bisa digeneralisasikan bahwa ahli kedokteran mampu mengkonstruksi kembali kondisi-kondisi tertekan dari masa lalu pasien, dan dengan demikian bisa menjelaskan tingkah laku yang termanifestasikan yang telah dirusak oleh adanya tekanan secara mekanis. Habermas berkata,
Bahwa persoalan tentang "Apa", yakni kandungan makna dari realisasi apa yang disimpangkan secara sistematis tidak bisa dipahami - jika dalam waktu yang sama tidak mungkin menjelaskan "Mengapa" – sumber gejala yang merujuk kepada lingkungan awal, yang membawa kepada terjadi penyimpangan secara sistematis itu sendiri.
Logika dari interpretasi umum menempatkan psikoanalisis dalam posisi metodologi yang khas. Di satu sisi, sepanjang sikap rekonstruksi mengasumsikan bentuk hipotesis yang menjelaskan (explanatory hypotheses), psikoanalisis membuka hubungan dengan ilmu analitik-empirik. Di sisi lain, karena rekonstruksi itu sendiri adalah interpretasi dan karena kriteria yang utama dari verifikasi adalah tindakan mengingat kembali sang pasien, maka selanjutnya bahwa prosedur psikoanalisis sama dengan metode dalam disiplin hermeneutik-historis. Posisi khas psikoanalisis digambarkan oleh konsep kausalitasnya yang tidak terdapat dalam hubungan antara peristiwa-peristiwa yang bisa diobservasi tetapi lebih terkait dengan konsekwensi-konsekwensi dari simbol-simbol yang terpotong-potong dan motive-motive yang tertekan. Diilhami oleh Hegel, Habermas menamakan ini dengan "causality of fate"; dan berlawanan dengan ilmu yang menggunakan hubungan kausal guna memperluas kontrol teknis, psikoanalisis bertujuan menghilangkan hubungan-hubungan ini. Psikoanalisis memberikan kekuatan penjelasannya dalam refleksi-diri di mana keobyektifan baik dalam memahami (understand) maupun menjelaskan (explain) juga dikerjakan.
Habermas menandaskan bahwa struktur metode psikoanalisis memiliki karakter paradigma yang sesuai dengan ilmu kritik sosial. Karena psikoanalisis berusaha menembus batas pemahaman-diri pasien, demikian juga halnya dengan ilmu sosial kritik tidak bisa membiarkan apa yang terkandung dalam tindakan sosial sebatas pada motivasi-motivasi yang sesuai dengan interpretasi pelaku atas situasi yang ada. Habermas menyatakan dalam karyanya yang awal, sosiologi yang mengkonseptualisasikan motivasi tingkah laku dengan cara ini harus membatasi dirinya pada penjelasan interpretatif. Sosiologi harus dapat memberikan penjelasan-penjelasan yang sesuai dengan deskripsi bahasa dan penafsiran hermeneutik;
haruskah ia meninggalkan penjelasan kausalitas sehingga akan kehilangan sebagian makna yang semestinya dapat dipahami secara utuh dan itu diperoleh melalui penggabungan dua metode understanding dan explanation.
Menghentikan penjelasan kausalitas berarti sekaligus mengabaikan dimensi-dimensi dunia sosial itu yang menentukan dan mengubah medium bahasa dan tradisi, yakni dimensi-dimensi buruh dan kekuasaan. Perkembangan kekuatan-kekuatan produksi adalah pra-kondisi bagi pembentukan motivasi dan kebutuhan umat manusia, dan materi pokok dari kebutuhan umat manusia itu bergantung pada tahap perkembangannya. Lebih dari itu, kesadaran akan adanya motivasi dan interpretasi terhadap kebutuhan itu tergantung pada sanksi yang ada dalam norma yang berlaku; dan sepanjang norma-norma ini tidak memperlihatkan kesamaannya dengan kekuasaan politik, maka hanya motive-motive dan kebutuhan-kebutuhan tertentu saja yang dijelaskan kepada publik. Ilmu sosial kritik, menurut Habermas, harus berusaha membongkar bentuk-bentuk penekanan dan menyingkirkan ilusi-ilusi yang mengabsahkan tindakan menekan secara mekanis. Ilmu macam ini secara sistematis harus memperhatikan sejarah yang telah digeneralisasikan dalam bentuk teori evolusi sosial yang akan mengembangkan hipotesis berkenaan dengan asal muasal dan fungsi-fungsi institusi dan ideologi yang spesifik. Jadi ilmu kritik sosial tidak bisa tetap berada dalam level obyektif ini seandainya ia hanya sekedar bentuk fungsionalisme yang rancang. Karena tidak kurang dari psikoanalisis, ilmu kritik sosial bertujuan mencapai emansipasi subyek melalui penjelasan makna; dan sebagai dinyatakan Habermas dalam perdebatan dengan Luhmann, "pengertian makna tidak bisa difahami dengan reduksi monologis; jadikanlah ia sebagai fenomena pengalaman atau mode penseleksian terhadap sistem tindakan yang secara komplek tereduksi. Jadi, sementara Habermas mempersilahkan penjelasan makna dibantu penjelasan kausalitas, dia mengklaim bahwa penjelasan semacam itu tidak bisa sepenuhnya digantikan oleh eksplanasi karena di dalam dunia sosial, makna tidak bisa direduksikan.
III
TAFSIR MAKNA
Bab ini akan membahas konsep-konsep yang bersifat praktis dan aplikatif untuk penelitian dengan menggunakan pendekatan hermeneutik.
1. Dua konsep penafsiran
Schleiermacher mempertimbangkan dua konsep penafsiran yakni: grammatical interpretation and technical or psychological interpretation. Yang dikehendaki dengan penafsiran gramatikal adalah penafsiran segi kebahasaan, jenis bahasa, menentukan makna yang tepat dalam kalimat. Stile bahasa yang dipergunakan, prosa, puisi, narasi. Penafsiran psikologis disebut pula dengan penafsiran teknik, yakni penafsiran terhadap individu pengarangnya, pemilik konsep atau ide yang diobyektifikasikan melalui bahasa adalah the meaning-full forms; konsep atau ide yang kandung makna dan kini menjadi obyek penafsiran. Penafsiran psikologis atau teknikal dipusatkan pada individu pengarang. Schleiermcher menyebutnya sebagai penafsiran divinatory. Gadamaer menamakan cara penafsiran ini adalah divinatory method, atau the method of divination . Secara bahasa, divination, berarti upaya memenemukan hal-hal yang tersembunyi atau mencari kejelasan dari sesuatu yang dipandang masih sama-samar. Metode divinasi (jika sah diindonesiakan demikian, adalahkegiatan melacak karakter psikologis,
intelektual dan spiritual pengarang dan menemukan sesuatu yang bersifat khas milik dirinya disbanding para pengarang yang lain. Dalam bahasa |Ricoeur, metode divinasi bertujuan menemukan the singularity of the writer's message , yakni kekhasan dari pandangan penulis atau pengarang dan berbeda dari lainnya.
Untuk penafsiran gramatikal, Schleiermacher mengembangkan empat puluh empat kaidah, namun hanya dua kaidah yang bertahan sampai saat ini. Dua kaidah itu adalah:
a).one, everything that needs a fuller determination in a given text may only be determined in reference to the field of language shared by the author and his original public,
b). two, the meaning of every word in a given passage has to be determined in reference to its coexistence with the other wods surrounding it.
a). Segala sesuatu yang membutuhkan ketentuan makna yang sempurna dari suatu teks yang ada haruslah merujuk kpada bahasa yang digunakan bersma oleh author dan masyarakat aslinya, the original public.
b). kedua, untuk menemukan kejelasan makna dari suatu kata yang terdapat dalam suatu ayat atau kalimat harus merujuk kepada kata-kata yang ada bersamanya yang ada disekitarnya.
Dalam bukunya, Bleicher tidak menjelaskan siapa yang dimaksud Schleiermacher dengan "original public". Bleicher sendiri juga tidak memberi komentar apa-apa tentang "original public". Keadaan ini, tentu, membuka ruang kosong yang menantang daya kreativitas kita untuk berusaha membuat deskripsi tentang konsep itu. Misal, ini untuk dunia Islam, Nabi Muhammad saw menggunakan bahasa Arab dalam semua sabda (hadisnya), dan para sahabat, juga menggunakan bahasa yang sama yang digunakan oleh Nabi Muhammad saw. Jika makna dari konsep tersebut adalah masyarakat asli bangsa Arab dan otomoatis berbahasa Arab, maka para sahabat sah dijadikan referensi atau pihak yang dirujuk original public karena mereka memang asli dilahirkan dalam geo yang basisnya berbahasa Arab. Dalam tradisi hermeneutic, meaning atau makna yang terkandung di dalam suatu konsep atau pendapat dapat dipilah menjadi dua; sense dan reference; meaning berarti "sense" logika yang immanen dalam konsep itu sendiri, atau yang terdapat dalam proposisi itu sendiri yang dituangkan dalam bentuk bahasa dan tidak keluar dari bahasa; sedangdkan referens menunjuk kepada ekstra bahasa, sesuatu realtas yang berada di luar logika; dalam pengertian ini, kita menempatkan para sahabat sebagai referensi dari konsep original public.
Pertanyaan, apakah referensi itu terbatas pada para sahabat yang secara langsung hidup sejaman dengan Nabi Muhammad saw ataukah tidak sebatas mereka yang hidup sejaman dan bertemu Nabi Muhammad saw? Dalam pengertian ini, referensi mencakup siapa saja yang secara asli lahir dalam geo yang bahasanya sama dengan yang digunakan olehNabiMuhammad saw. Jika ini, maka para tabi'in, tabiit-tabi,in, para mufasir, para ulama fiqh, ulama hadis masuk dalam konsep original tersebut. Sedangkan orang yang tidak dilahirkan dalam geo bahasa Arab meskipun kemudian belajar bahasa Arab dan menjadi seorang yang pandai dan menguasai bahasa Arab sudah tentu tidak masuk sebagai original public.
Penafsiran psikologis atau terkadang disebut dengan penafsiran teknis dipusatkan pada individu pengarang. Schleiermcher menyebutnya sebagai penafsiran divinatory. Gadamaer menamakan cara penafsiran ini adalah divinatory method, atau the method of divination . Secara bahasa, divination, berarti upaya memenemukan hal-hal yang tersembunyi atau mencari kejelasan dari sesuatu yang dipandang masih sama-samar. Metode divinasi (jika sah diindonesiakan demikian, adalah kegiatan melacak karakter psikologis, intelektual dan spiritual pengarang dan menemukan sesuatu yang bersifat khas milik dirinya disbanding para pengarang yang lain. Dalam bahasa Ricoeur, metode divinasi bertujuan menemukan the singularity of the writer's message , yakni kekhasan dari pandangan penulis atau pengarang dan berbeda dari lainnya.
Kembali kepada istilah original public, Di dalam bukunya, Bleicher tidak menjelaskan siapa yang dimaksud Schleiermacher dengan "original public". Bleicher sendiri juga tidak memberi komentar apa-apa tentang "original public". Keadaan ini, tentu, membuka ruang kosong yang menantang daya kreativitas kita untuk berusaha membuat deskripsi tentang konsep itu. Misal, ini untuk dunia Islam, Nabi Muhammad saw menggunakan bahasa Arab dalam semua sabda (hadisnya), dan para sahabat, juga menggunakan bahasa yang sama yang digunakan oleh Nabi Muhammad saw. Jika makna dari konsep tersebut adalah masyarakat asli bangsa Arab dan otomoatis berbahasa Arab, maka para sahabat sah dijadikan referensi atau pihak yang dirujuk original public karena mereka memang asli dilahirkan dalam geo yang basisnya berbahasa Arab. Pertanyaan yang mungkin muncul, apakah referensi itu terbatas pada para sahabat yang secara langsung hidup sejaman dengan Nabi Muhammad saw ataukah tidak sebatas mereka yang hidup sejaman dan bertemu Nabi Muhammad saw? Dalam pengertian ini, referensi mencakup siapa saja yang secara asli lahir dalam geo yang bahasanya sama dengan yang digunakan oleh Nabi Muhammad saw. Jika ini, maka para tabi'in, tabiit-tabi,in, para mufasir, para ulama fiqh, ulama hadis masuk dalam konsep original tersebut. Sedangkan orang yang tidak dilahirkan dalam geo bahasa Arab meskipun kemudian belajar bahasa Arab dan menjadi seorang yang pandai dan menguasai bahasa Arab sudah tentu tidak masuk sebagai original public. Nabi Muhmmad saw sebagai rasul yang menyampaikan risalah Ilahi dan mewanakan dalam bahasa wahyu ilahi adalah original public, menurut kaidah hermeneutik itu sendiri. Demikian pula para sahabat, tabi’in dan tabi it tabi’in. Di antara para sahabat ada yang masuk sebagai ahli tafsir yang termasyhur. Sds sepuluh sahabat yang masuk paling masyhur dalam penafsiran al-Qur’an. Mereka adalah empat khulafaur rasyidin, Abu Bakr, Umar, Usman dan Ali bin Abi Thalib, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Ubay bin Ka’b, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair.
Di antara empat sahabat besar yang paling banyak menyampaikan penafsiran adalah Ali bin Abi Thalib. Banyak penafsir pasca sahabat yang merujuk kepada Ali bin Abi Thalib jauh lebih banyak dibanding dari sahabat besar lainnya. Adakah kelebihan Ali bin Abi Thalib dari lainnya?
Ma’mar menyampaikan suatu riwayat dari Wahab bin Abdullah dari Abi at-Tufail, “saya pernah mendengar Ali Menyampaikan khutbah berjata, “bertanyalah kalian kepada saya. Demi Allah, apapun yang kalian tanyakan aku akanmenjawabnya. Bertanyalah kalian tentang Kitab Allah. Demi Allah, tidak ada satu ayat pun kecuali akumenmgetahui tentang turunnya, apakah pada malam hari atau siang hari apakah di pelataran ataukah di perbukitan.
Beberapa konsep lain:
Sharing meaning
Konsep di atas menunjuk kepada makna yang dipakai bersama oleh suatu komunitas atau suatu masyarakat. Mereka juga memiliki pemahaman yang sama terhadap suatu istilah atau kalimat bersama’
seperti "tutuplah pintu". Kata pintu punya makna yang disepakati bersama dalam suatu komunitas tertentu .
Bagi Gadamer, jika makna dari sebuah teks disepakati bersama, maka kesepakatan ini tidak sebatas mengetahui apa kehendak penutur; ia juga tidak sebatas pada kemampuan merekonstruksikannya. Lebih dari itu, penafsir juga dapat memahami makna substantifnya, yakni memahami the subject matter, materi pokok apa yang terkandung dalam teks atau proposisi. Makna yang disepakati itu berarti bahwa makna itu tidak hanya milik seseorang saja tetapi makna itu lebih merupakan common view atau pandangan umum. .
. Shareability
Menurut Hirsch, konsep ini menunjuk kepada dua keadaan. Pertama, bahwa kata-kata di dalam teks dapat digunakan untuk menjelaskan pengertian yang diinginkan oleh pengarang, Kedua, bahwa penafsir dapat menjelaskan bahwa secara faktual memang itulah yang dikehendaki pengarang .
Sense dan reference
- Menurut Newton Garver beberapa filsuf Amerika dan Inggris berpendapat bahwa "theory of meaning" harus dibagi menjadi dua; yakni theory of sense, dan theory of reference. Ketika bahasa diekspresikan, mungkin orang bertanya tentang maknanya, tapi juga menanyakan kegunaanya untuk apa .
Penegasan para filsuf di atas, mungkin, terpengaruh oleh Frege, filsuf bahasa dari Jerman yang memilah dua istilah “sense dan reference”. Dia menyatakan, sense adalah penjelasan ideal mengenai apa yang dikehendaki oleh suatu proposisi; dalam pengertian ini, sense bersifat imanen, sense dipahami dari dalam wacana yang diekspresikan leat bahasa dan tidak keluar dari bahasa. Sedangkan referensi adalah nilai kebenaran dari suatu proposisi yang menuntut rujukan pada realitas; referens menunjuk sesuatu yang ada di luar bahasa " Dalam bahasa ilmiah, nilai kebenaran (truth value) mungkin sepadan dengan teori pembuktian empirik. Sementara Husserl memilah istilah "expression" dan "indication".
meaning and significance
Tradisi hermentuik juga membedakan antara memahami makna dan memahami signifikansi; understanding the meaning of a text and understanding its significance.
. Memahami makna (meaning) sebuah teks adalah pemahaman yang sama dengan apa yang diinginkan pengarang (pemilik teks atau konsep) sesuai dengan simbol-simbol bahasa yang digunakan secra spesifik dan dengan demikian ada kesamaannya; penafsiran yang solid adalah penafsiran yang memahami makna semacam ini secara benar dengan cara pandang yang netral. Perbedaan yang relatif kritik dalam penafsiran tidak muncul dari masalah regulasi bahasa atau kaidah penafsiran yang inheren dalam proses menafsirkan, tetapi lebih disebabkan adanya perbedaan dalam signifikansi; suatu konsep atau teks dipahami oleh berbagai penafsir yang berbeda signifikansi Masing-masing penafsir memiliki latar situasi serta tingkat perhatian yang berbeda namun tetap menganggap relevan dengan teks. Pada level signifikansi terbuka kemungkinan terjadi perbedaan .
Contoh, ada sabda Nabi Muhammad sa, "man ra' a minkum munkar, fal-yughayyir…"
Aapakah ada Sharing meaning, terhadap kata "yughayyir"? apakah ia berari merubah atau merusak? Kata "munkar" kita anggap saja berarti sesuatu yang rusak. Pertanyaanya, jika sesuatu yang sudah rusak kini dirusak lagi maka akan menghasilkan krusakan ganda. Tetapi jika sesuatu yang rusak itu diperintahkan untuk dirubah, tentu tindakan merubah memiliki struktur dan proses yang berbeda dari tindakan merusak. Mungkin pada level sense dan referens terjadi kesepakatan makna, namun pada level signifikansi berbeda.
Proses Penafsiran
Di antara para filsuf hermeneutic, Betti adalah satu dari mereka yang paling banyak sumbangsihnya berkenan dengan aplikasi hermenutik untuk penelitian.
1. Triadic process
Setiap aktivitas penafsiran adalah triadic process, yakni proses tiga segi. Yang dimaksud dengan proses tiga segi adalah:
1. obyek yang ditafsirkan; yakni the mind objectivated in the meaning-full forms,
2. subyek yang menafsirkan yakni an active thinking mind,
3. medium atau mediasi yang menghubungkan antar subyek dengan obyek, yakni the meaning-full forms. The meaning-full forms sebagai medium atau mediasi (penghubung) mesti dibedakan dari meaning-full forms yang menjadi obyek kajian.
Kata Betti, setiap penafsiran adalah proses tiga segi; kedua, penafsiran tdak bergerak secara langsung (direct), mleiankan indirect (tidak langsung); subyek sebagai an active thinking mind menggunakan mediasi atau medium perantara unutk menuju ke memahami the mind of other,
Teori tiga segi adalah teori Emilio Betti, Filsuf angkatan akhir dari aliran hermeneutik teori dan sekaligus sebagai pamuncak dari aliran ini.. Dia berpendapat bahwa kita mulai melakukan aktivitas penafsiran ketika kita berhadapan dengan konsep atau pemikiran orang lain yang telah diobyektifkan dalam bentuk meaning-full forms. Setiap aktivitas penafsiran adalah Konsep-konsep yang berhubungan erat
Meaning-full forms.
Terjemahan yang mungkin agak dekat dengan istilah tersebut adalah "konsep yang kandung makna. Dahulu Plato menggunakan “forms” identik dengan makna idea dan general concept. Jika saat ini anda bertanya kepadanya, mengapa manusia di dunia bentuknya seperti ini? Plato telah menjawab, bentuk manusia seperti apa yang kita saksikan saat ini karena dahulu di dunia ide, di alam pre-existence, sudah ada form atau konsep umum tentang bentuk manusia. Bleicher menjelaskan istilah forms dalam pengertian yang luas sebagai struktur yang homogin karena di dalamnya memuat sejumlah unsur yang memiliki relasi satu dengan lainnya . Dalam teori Betti tentang proses tiga segi, aktivitas menafsirkan tidak bersifat direct melainkan indirect, yakni tidak langsung ke obyek melainkan melalui mediasi. Untuk memahami konsep atau pemikiran orang lain yang diobyektivasikan dalam bentuk meaning-full forms seorang penafsir tidak secara langsung ke obyek yang ditafsirkan akan tetapi penafsir menggunakan medium atau mediasi yang menghubungkan antar dirinya dengan obyek. Misalkan;
obyek yang ditafsirkan adalah konsep Suhrawardi tentang “al-masya’i”, sebuah konsep orang lain yang kandung makna,
An active thinking mind, atau subyek penafsir, mesti memahami dahulu apa makna al-masya’i melalui mediasi yang juga merupakan pra kondisi penafsiran. Panfsir harus menelaah kamus, atau buku-buku lain yang telah membahas al-masya’i; apakah konsep ini identik dengan ilmu huduri ataukah tidak, dstnya.
. meaning-full forms yang merupakan medium atau mediasi yang menghubungkan subyek ke obyek. Meaning-full forms ini sebagai pra-kondisi penafsiran, kondisi awal yang membantu penafisir memperoleh informasi atau pengetahuan awal tentang al-masya’i. Meaning-full forms yang merupakan pra kondisi penafsiran ini dapat penafsir peroroleh dari kamus dari informasi kenalan yang ahli, atau dari sumber sekunder berupa tulisan komentar dari orang sarjana lain yang menjelaskan konsep Suhrawardi tersebut. Singkatnya, meaning-ful forms bisa dipadankan dengan "sumber sekunder.
objectivation of mind
Dalam teori triadic process (proses tiga segi), istilah objectivation of mind berarti "the mind objectivated in meaning-full forms, yakni the mind of the others.
Konsep ini menunjuk kepada konsep-konsep atau piiran-pikiran atau gagasan-gagasan orang lain yang menjadi obyek kajian
Pada awalnya, ide itu bersifat subyektif-internal, ada di dalam batin seseorang. Jika ide tetap disimpan dalam ruang batin-subyektif, tentu orang lain tidak akan memngetahui ide dalam batin tersebut. Ide baru diketahui oleh pihak lain ketika ide itu dilepaskan dari ruang subyek. Setelah lepas melalui proses pengobyektivasian, ide itu kini masuk dalam di ruang obyek setelah bebarapa lama tinggal di ruang subyek. Karena sudah berada di ruang obyek, ide dapat menjadi obyek kajian atau penelitian. Dalam proses tiga segi ada dua istilah yang sama "meaning-full forms" yang statusnya berbeda, karena, meaning full form bisa menunjuk kepada konsep pihak lain yang menjadi obyek penafsiran, di sisi lain, meaning full forms berstatus sebagai medium atau mediasi antar subyek penafsir dengan obyek yang ditafsirkan.
Dalam teori Betti tentang triadic process, meaning-full forms menjadi pra-kondisi penafsiran, di sisi lain, ia juga menjadi medium antara subyek penafsir dengan obyek yang ditafsirkan. Singkatnya, meaning-ful forms bisa dipadankan dengan "sumber sekunder. Misalnya, konsep yang grounded on empirical experiences (melalui riset kancah) yang diajukan oleh Clifford Geetz dengan pendekatan Weberian tentang tipe-tipe ideal, yakni santri abangan dan priyayi (?); saat ini, model tipe-tipe ideal untuk menegaskan suatu kelompok tertentu sering menjadi pilihan analisis, seperti radicalism, liberalism, tradisionalis, fundamentalism, neo tradisionalism, modernis, neo modernis, post modernism. Jika semakin banyak analisis tipe-tipe ideal dan setiap orang juga punya hak ilmiah tersebut, maka deretan tipe-tipe ideal akan makin panjang.
entitas supra individual.
Betti memberi perhatian mengenai hubungan antara kemampuan bahasa dan masyarakat penutur (the community of speakers). Masyarakat penutur adalah entitas supra individual dengan suatu karakter transcendental. Peran eksistensi entitas supra indivual ini menjadi pra kondisi yang bagi proses penafsiran . Eksistensi dan peranan entitas supra individual bisa memberikan meaning-full form sebagai medium. Entitas ini bisa the original public atau entitas yang bukan original public. Para ulama dalam semua disiplin agama, missal, ulama ahli tafsir, ulama ilm kalam, ulama hukum islam, ulama ahli hadis adalah entitas supra individual dan bisa dijadikan sarana atau medium untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.
Prinsip umum pemahaman menyatakan, bahwa pemahaman yang mencukupi atau memenuhi harapan hanya bisa berkembang jika di dasarkan atas pengetahuan yang benar; "adequate understanding can only develop on the basis of correct knowledge" .
Analisis fenomenologis dan analisis normatif-aksiologis
Betti membedakan antara analisis normatif-aksiologis dari analisis fenomenologis. Untuk analisis normatif aksiologis, dia mengemukakan pendapat tentang criteria kebenaran sebuah proposisi yang kandung makna, bahwa standard kebenaran suatu proposisi tidak selalu bersumber dari pembuktian empirik, tetapi juga dari keautentikan proposisi yang diterima secara sadar diri sebagai tata nilai yang dihayati dalam intuisi batin baik langsung maupun tidak langsung. Nilai kebenaran ini tergantung pada para warga yang terlibat dalam proses komunikasi (warga dalam komunitas) .
Tulisan ini hanya bersifat elaborasi dari analisis akziologi di atas dengan mengetengahkan konsep dalam tasawuf, yakni onsep tasawuf tentang “membersihkan hati dan jiwa. Hati dan jiwa harus dibersihkan dari apa? Inilah analisis aksiologi tasawuf yang hendak dibahas. Bahwa hati dan jiwa tidak hanya harus idbersihkan dari berbagaia penyakit hati seperti takabir, dengki, suka memfitnah, munafik, ria, melainkan jih\ga harus dibersihkan dari berbagai macam jenis angan-angan rendah yang bisa mengotari hati dan menutup hati dari dhikrullah. Istilah "wahm" dalam kehidupan tasawf sering diistilahkan dengan khiyal wahmi, al-wahmiah, atau istilah-istilah lain yang sepadan.
Dalam Kamus yang disusun oleh Ibrahim Anis, DR, dkk, yakni Halim al-Muntasar, Atiyah al-Sir al-Hay dan Muhmmad Khallafullah Ahmad). Kamus dimaksud adalah "al-Mu'jam al-Wasit" terdiri dari dua jilid. Kami sengaja memilih Kamus ini danbukan Kamus Munjid, karena alas an yang besifat ontologism dri padaalasan epistemologis, bahwa Kamus Munjid disusun oleh seorang Orientalis. Sidang pembaca dipersilahkan menelaah sendiri dalam Kamus tersebut atau dari Kamus lain yang bersifat original public, meminjm isilah hermeneutik modern, ahwa para penyusun Kamus ini
. Kami hanya ingin menegaskan bahwa tidak satu hurufpun dalam makna istilah ini berasal dari pendapat kami. Sementara itu jika ada tambahan penjelasan itu tak lebih dari upaya pengembangan dan peluasan wawasan, atau dialog melalui teks atau wacana lisan. Terhadap baris-baris terakhir ini pembaca bisa tidak setuju sama sekali. Kami benar-benar sadar dan menyadari bahwa setiap orang punya haknya masing-masing; hak tidak membaca, hak menolak, hak mengkritik, hak mencemooh, atau hak merobek.
Kata "al-khathir" menunjuk makna sesuatu yang melintas dalam batin; itu bisa lamunan, khayalan, gambaran-gambaran imajinatif. Semua makna ini memiliki kesamaan bahwa khayalan atau lamunan itu adalah sesuatu yang kontra factual, kontra realitas. Bertentangan dengna kenyataan yang ada. Seseorang punya gambaran atau lamunan yang melitas dalam batinnya sebagai seorang manajer dengan gaji setumpuk juta rupiah jika hasil dari perusahaan yang dipimpinnya, atau berkhayal hidup berkecukupan dan berlebih-lebih sehingga setiap model kendaraan yang baru dia beli. Atau membayangkan memperoleh rejeki nomplok tanpa bekerja dan atau khayalan-khayalan yang lain yang lebih indah dari itu. Tetapi semuanya berujung sama, yakni kontra faktual sebab dalam fakta, dia hidup dalam kondisi ekonomi seperti ini. Kata "dara" (dalam daral-khathir) berart berputar-putar; artinya, lamunan dan khayalan itu sebenarnya hanya berputar-putar di sekitar itu, sesuatu yang tidak faktual. Dalam kaitannya dengan orang yang telah mmiliki dhikir, tentu, khayalan-khayalan yang melintas ke dalam batin ini akan segera diusir dengan sekuat tenaga. Dia berikhtiar, karena di sinilah kewajiban manusia (manusia wajib berikhtiar) termasuk mengusir khayalan-khayalan yang kontra faktual. "Eling lan waspada" warisan nasehat para leluhur ini sebenarnya bernuansa tasawuf. Waspada, artinya punya kualitas kewaspadaan batin bahwa khayalan-khayalan ini jika tidak segera diusir terus menerus, sepadan dengan kehadiran khayalan yang juga terus menerus, akan menimbulkan ancaman bagi "dhikr itu sendiri, paling dekat, dhikirnya tertutup oleh banyaknya khayalan yang masuk terus menerus ke dalam batin.
Karena itu, makna lain dari "wahm" adalah "saha". Arti kata-kata "saha" adalah lupa. Pertanyaanya, lupa terhadap apa? Atau apa yang membuatnya lupa? Khayalan-khayalan itu bisa membuat seseorang lupa terhadap dhikir. Dhikirulah mestinya mengusir khayalan-khayalan yang mungkin membuat hati kita sakit oleh banyaknya khayalan dan tidak pernah menjadi kenyataan. Makin senang kita terhadap khayalan dan makin kita mencintai khayalan dan makin banyak kita membicarakan khayalan, maka dhikir yang semestinya harus terus menerus kita laksanakan dalam rasa hati akan tersisih. Dhikir itu yang semestinya kita hadirkan terus menerus di dalam rasa hati kita dan sekaligus kita gunakan untuk kekuatan mengusir khayalan.
Makna lain dari wahm adalah "masuknya raibah dalam hati". Makna asal raibah adalah terombang ambing, glayaran, tahayyara". Ketika seseorang tidak memiliki pendirian yang mantap, tidak memiliki iman yang mantap, maka terbuka peluang untuk terombang ambing dan bisa berujung kepada ragu-ragu. Seseorang masuk tokok pakaian melihat semua pakaian di situ bagus, Malangnya, dia tidak punya visi yang cukup mantap dan mapan, sehingga dia mondr mandir ke sana ke mari atau masuk tokok keluar toko, bingung sendiri dipermainkan oleh thayyara. Ketika semua khayalan tidak nyata dan tidak terwujud danmemang tidak mampu mewujudkannya, seseorang lalu mengajukan doa kepada Tuhannya terkait dengan keinginan-keinginan dan mungkin bercampur aduk dengan khayalan sedemian intens menurut pendapatnya. Namun dalam sekian lama, tidak juga terkabul. kondisi semacam ini menjadi peluang masuknya angan-angan atau suara-suara nafsu yang lebih keras dan lebih jahat lagi menyeret ke situasi ragu-ragu terhadap…. Kata "raiba" dalam uraian semacam inilah yang lazim diindonesiakan dengan "ragu-ragu".
Dalam Kamus di atas, kata "raibah" (raiba) punya beberapa makna seperti tertulis di atas; kidr (kotor), halak (rusak) dan radhal (hina, rendah). Semua makna ini sama dalam hal mengotori batin, merusak batin dan rendah, atau meminjam istilah Sarraj at-Tusi dalam al-Luma' menyebutnya sampah sebab semua itu tidak mendukung akan kebenaran al-haq baik menggunakan dalil nakli (nash ayat atau hadis) ataupun pemahaman rasional terhadap nas yang untuk memperkuat kebenaran dan keberadan al-haq.
Bagaimana menghadapai khiyal wahmi? Pertama-tama, sudah tentu, ada kewaspadaan kemudian ada ikhtiar mengusirnya, salah satunya adalah dengan dhikir –syukur- makna inti dhikir dalam rasa dapat diperkeras dan terus menerus. Jika anda dalam kondisi swedemikian sedih sampai-sampai hati anda menjerit. Kita sering mendengar atau punya pengalaman sendiri, hati ini menjerit keras. Ini artinya, suara hati yang seberapan keras jeritasnnya, pihak lain tetap tidak mendengar. Prinsipnya, hati bisa menjerit keras. Kini kita menggnatinya dengan dhikir, hati ini berdhikir keras mengusir khiyal wahmi, dan terus menerus; mungkinkah?
Bagaimana cara mengurangi masuknya khiyal wahmi? Ambillah kesibukan dengan bekerja atau membaca sambil mewaspadai datangnya khiyal wahmi. Cara-cara lain, membaca al-Quran atau membaca kitab-kitab tentang tasawuf dengan mengerahkan konsentrasi sepenuhnya. Mungkin, aktivitas ini lebih baik daripada membiarkan khiyal wahmi meraja lela mengotori batin kita sendiri. Akibatnya, toh kita sendiri yang akan menanggung. Jika khiyal wahmi ini dibiarkan, maka peluang nafsu untuk nimbrung amat besar. Jika demikian, apa yang kita hadapi tidak hanya khiyal wahmi melainkan juga nafsu dengan segala karakternya yang destruktif (merusak), semacam kekuatan nekrofilia, meminjam istilah Eric From. Allah menghendaki kita sabar, sebaliknya, nafsu menjungkir balikkannya.
Kaidah penafsiran
Betti telah menyusun kaidah penafsiran cukup panjang, demikian dikatakan Bleicher. Dia meringkaskan tulisan Betti yang pada garis besarnya memilah kaidah penafsiran menjadi dua; pertama, kaidah yang berkenaan dengan obyek, dan kedua, kaidah yang berkenaan dengan subyek.
1. Kaidah yang berkenaan dengan obyek.
Kaidah yang berkenaan dengan obyek dipilah menjadi dua:
a). Kaidah tentang otonomi obyek, b). Kaidah totalitas.
a). Kaidah otonomi obyek.
Kaidah ini berarti bahwa konsep yang kandung makna ditempatkan sebagai sesuatu yang otonom dan harus dipahami sesuai dengan logika yang terkandung dalam teks itu. Konsep tersebut juga terbuka bagi upaya melakukan pengembangan berangkat dari miliknya sendiri, serta kontekstual dengan ide-ide lain sesuai yang dikehendaki oleh konsep itu sendiri. Konsep itu di dalam dirinya memiliki standard hermeneutik yang immanen atau "immanence of the standard of hermeneutics" . Misalnya, sebuah konsep itu berbahasa Arab.semisal, konsep dalam tasawuf” tazkiyatun nafsi wa tasfiyatul qalb”; konsep membersihkan hati dan jiwa dari penyakit hati. Apakah konsep ini dapat diekmbangkan mnejadi konsep yang bersifat “common sense’ yakni “membentuk kepribadian”.
b) Kaidah totalitas
Kaidah ini menjelaskan menegenai adanya interrelasi dan koherensi antar bagian-bagian yang terdapat dalam konsep atau proposisi serta menjelaskan adanya saling hubungan dengan konsep yag bersifat whole .
Kaidah ini sering berlaku dalam penafsiran terhadap norma hukum, missal, aplikasi norma-norma tertentu ditafsirkan sebagai bersumber dari sistem hukum, sesuai dengan arah hukum internasional .
2. Kaidah yang berkenaan dengan subyek dan dipilah menjadi dua:
a). Kaidah tentang aktualitas pemahaman, b). kaidah keharmonisan pemahaman.
a). Kaidah aktualitas pemahaman
Pokok-pokok kaidah ini antara lain:
1). Penafsir tidak bersikap pasif menerima saja melainkan harus merekonstruksi kembali dengan memahami makna yang dikehendaki. Merekonstruksi bukan sekedar mengulang apa adanya. Untukupaya rekonstruksi yang memadai, penafsir memerlukan mediasi dariberbagai sumber apakah sumber sekunder atau sumber-sumber lain yang relevan dan kontekstual sehingga rekonstruksi tersemut memiliki nuansa baru daripada sekedar mengualng ulang.
2). Penafsir harus memiliki kekuatan wawasan. Dalam hal ini, penafsir sebelumnya memiliki basis pengetahuan yang relevan dengan materi pokok yang menjadi pilihan penafsir.
3) Upon Which dari materi pokok yang menjadi pilihan penafsir harus memiliki daya tarik bagi penafsir.
4). Penafsir meneliti kembali proses kreativitas munculnya konsep yang menjadi obyek kajian, menempatkannya dalam peta pemikiran yang telah ada yang relevan semisal, neo-tradisionalisme, neo-modernisme atau post modernisme. Atau mungkin konsep yang sedang dikaji itu merupakan sesuatu yang tipikal dan khas dengan memberikan bukti secukupnya mengeni kekhasannya dan tidakmasuk dalam kerangka (peta) pemikiran yang telah ada .
b). Kaidah keharmonisan pemahaman.
Kaidah ini menyatakan bahwa hanya nalar yang memiliki kesamaan wawasan yang bisa menangkap danmemahami nalar pihak lain. Menurut kaidah ini, penafsir seharusnya memiliki tingkat kesamaan atau mendekati harmoni dengan konsep yang dikaji sehingga ia tidak berangkat dari tanah kosong .
IV
TAFSIR HORIZON
DAN
SITUASI
Di bawah ini akan dibahas beberapa konsep Gadamer, Ricoeur dan Habermas
1 Gadamer
Beberapa teorinya yang akan dibahas antara lain:
a. teori pemahaman
b. teori horizon,
c. fusion of horizon,
d. aleanating distanctition dan belonging experience.
a). Teori pemahaman
Gadamer membedakan dua bentuk pemahaman;
1). pemahaman terhadap truth content
2). pemahaman terhadap intention.,
1) the understanding of. truth content
Memahami truth content atau makna yang dikandung dalam suatu proposisi berarti memahami substansi materi pokok dalam suatu teks atau proposisi. Misalnya, seseorang memahami teori geometri Euclid, seseorang memahami teori \merton tentang fungsi manifes dan fungsi laten.. Di sini memahami berarti mengetahui kebenaran sesuatu Pemahaman jenis ini mencakup pmahaman terhadap materi pokok.
Berbeda dari pemahaman jenis pertama di atas, pemahaman yang kedua (intention) adalah memahami kondisi atau situasi di balik tindak ucapan atau tindak perbuatan; yakni memahami kondisi ekstra mengapa seseorang melakukan tindak pembunuhan yang jelas merupakan tindakan salah, apalagi terhadap keluarganya sendiri; pemahaman jenis ini membutuhkan pemahaman terhadap kondisi pelaku, kondisi psikologis, atau situasi yang melingkunginya. Ucapan yang mudah dipahami adalah yang masuk akal, demikian pula tindakan.
Namun, kita bisa tetap tertarik terhadap perosoalan genetic (penelitian yang mencari kondisi-kondisi ekstra penyebab munculnya tindak ucapan atau tindak perbuatan) meskipun truth content dapat dipahami. Warnke menulis demikian,
"Yet we can be interested in genetic questions even when we accept the truth of claim. Thus we are interested in the conditions that facilitated the discovery of geometry, for example
b) Teori horizon
Uraian ringkas berikut ini diharap sebagai upaya membantu memperoleh gambaran tentang horizon Gadamer. Secara harfiah horizon adalah wawasan dikondisikan oleh situasi. Orang menyadarai terhadap situasi di mana dia di dalamnya. Situasi dan kesadaran akan situasi ini "situated consciousness". Contoh, seorang ayah dahulu dididik dalam situasi pondok tradisional membaca kitab dengan teknik sorogan atau weton; materi pendidikan tergntung pda kitab yang diajarkan. Mellui usaha keras, ekonominya bekembang pesat dan dapat memasukkan anak yang dicintainya mengenyam pendidikan modern bahkan sampai ke luar negeri dengan situasi modern Amerika atau Inggris. Ada dua situasi yang berbeda, situasi yang membedakan yang menimbulkan jarak antar dua situasi pendidikan bapak dan situasi pendidikan anak. Suatu saat kedua situasi ini bertemu lengkap dengan kesadaran situasinya. Masing-masing memiliki horizonnya sendiri. Masing-masing dalam unique horizonnya. Jika masing-masing bertahan dalam unique horizonnya dan tidak menerima horizon pihak lain, peluang terjadi ketegangan amat terbuka. Dalam kondisi ini, fusion of horizon terkendala. Fusion horizon terjadi jika antar pendapat yang berbeda merupakan horizon yang terbuka, ada kondisi bisa saling memberi dan menerima. "Where there is a situation there is an horizon which can be contracted or enlarged". Di manapun ada situasi di sana ada horizon dan itu bisa diringkas atau diperluas. Ricoeur mengakui, Gadamaer memberi kita teori ini, bahwa komunikasi dalam jarak antar dua kesadaran situasi yang berbeda terjadi melalui peleburan horizon mereka, yakni,ada titik yang mempertemukan pandangan mereka yang berbeda, horizon mereka terbuka; "the communication at a distance between two differently situated consciousness occurs by means of the fusion of their horizon, that is, the intersection of their views on the distant and the open"
Kini kita membuat kias imajinatif, ayah adalah generasi yang mewakili situasi masa lalu, katakanlah abad skolastik Islam,anak, adalah generasi sekarang yang telah menyesuaikan diri dengan perkembangan sejarah dan itu efektif mempengaruhi pemikiran anak sebagai generasi dalam situasi saat ini membentuk horizon masa kini, sementara ayah adalah horizon masa lalu. Dalam figure kias imajinatif, ayah adalah Imam al-Ghazali yang wafat tahun 1111 M, atau kira-kira seribu tahun ynag lalu. Dalam kurun seribu tahun, sudah tentu telah terjadi sekian perkembangan termasuk dalam ilmu jiwa, misalnya.Sejarah adalah perkembangan termasuk perkembangan pemikiran. Ini terlihat dalam kelaziman tulisan-tulisan teks sejarah yang membagi sejarah dalam periodisasi lengkap dengan karakter utama setiap periode dan dibedakan dari periode sebelumnya. Tetatpi, mungkinkah anak sebagai horizon kini mengadakan komunikasi dialogis dengan figur Imam al-Ghazali yang hidup seribu tahun ynag lalu? Dalam tradisi hermeneutik, itu mungkin terjadi melalui suatu medium, yaitu teks. Adakah al-Ghazali meninggalkan teks? Jarak waktu masa lalu dan masa kini, dengan dan melalui teks, didekatkan. Bayangkan jika tidak ada teks tentang masa lalu, generasi horizon saat ini tidak memahami apa-apa tentang sejarah masa lalu. Sebaliknya, dengan adanya teks, generasi kini tergerak untuk mengethui. Sejarah memiliki kekuatan menggerakkan pemahaman. Inilah kira-kira yang dikehendaki dengan historical efficacy, the effective history atau the historical effectives. Sejarah secara effektif punya kekuatan menggerakkan. Teks sebagai medium jarak. Apa yang dahulu terjarak, kini menjadi akrab.
Adakah teks al-Ghazali dijak berdialog dengan ide atau konsep-konsep mutakhir yang menjadi horizon generasi kini? Mungkinkah kita memahami teks atau konsep al-Ghazali tertentu dengan horizon saat ini?
"…understanding can be seen in its genuine productivity. It is the formation of a comprehensive horizon in which the limited horizon of text and interpreter are fused into a common view of the subject-matter, the meaning, with which both are concerned .
Nukilan di atas menyatakan; a) horizon teks itu terbatas. Kita membaca sebuah teks kuno abad skolastik. Teks itu merupakan gambaran situasi di mana pengrang teks hidup dalam masa itu. \umpamakan kita membaca teks tasawuf abad skolastik. Kita tidak bisa menambahkan pendapat kita sendiri ke dalam teks tersebut kita punya penguasaan bahasa Arab yang standard. Teks tasawuf tetap seperti itu, kita tidak menambahkan atau mengurangi, b) pemahaman terhadap teks dan upaya membangun horizon yang komprehensif merupakan tugas penafsir saat ini dengan horizon kekinian, yakni horizon penafsir. Apa yang dapat dilakukan penafsir adalah peleburan horizon masa lalu dengan masa kini dalam common view.
Misalnya, mungkinkah materi pokok teks tasawuf mewakili horizon masa lalu diajak berdialog dengan teori-teori kejiwaan yangberkembang pada saat kini semisal teori id, ego, super ego milik Segmund Freud? Dapakah common view yang dikehendaki dan atau tidak bertentangan dengan dua horizon yang terjarak sekian jauh itu dikonsepsikan dalam rumusan "membentuk kepribadian". Jika penafsir menguasai horizon teks dan juga menguasai teori-teori kepribadian,maka upaya dialog dengan mengambil sesuatu yang bersifat common view terbuka untuk dilaksanakan.
Contoh lain, mungkinkah teks tafsir Ibn Kathir tentang perubahan dalam ayat "innallah la yghayyiru ma bi qawmin, hatta yughayyiru.. ma bi anfusihim" di ajak berdialog dengan horizon saat ini tentang perubahan sosial dan perubahan budaya dengan teori perubahan sosio-kultural yang berlaku saat ini? Apakah Ibn Kathir telah berbicara tentang perubahan dengan teori mekanistik atau teori cybernetic atau mobilitas status? Jika tidak berbicara masalah tersebut apa yang penafasir lakukan saat ini? Karena metode perubahan modern tidak ada dalam teks tafsir Ibn Kathir, maka penafir saat ini yang terkena pengaruh perkembangan teori modern melihat ada tanah kosong dalam penafsiran Ibn Kathir tentang perubahan yang disunggung dalam suatu ayar al-Qur'an; dengan demikian ada peluang melakukan rekonstruksi hermeneutic melalui dialog antar horizon dan terjadi fusion of horizon.
Teori horizon Gadamer memperbaiki visi kita, demikian David Linge menulis,
"By revising our conception of the function of the interpreter's present horizons, Gadamer also succeeds in transforming our view of the nature of the past which now appears as an inexhaustible sources of possibilities of meaning rather than as passive object of investigation .
Seperti diuraikan di atas, teori horizon lebih memfokuskan terbukanya peluang dialog masa lalu dengan masa kini lewat teks. Ini berbeda dari teori pemahaman sebelumnnya yang mengaitkan pemahaman dengan bahasa dalam teks dan unsur otonomi teks.
a. aleanating distanciation dan belonging experience.
Teori ini lebih dimaksudkan memasuki wilayah human science daripada teori penafsiran teks atau teori dioalog horizon. Melalui teori ini Gadamer berupaya memberikan sumbangsih konsep bagi human science atau social science, dua istilah yang sering dipergunakan dalam diskusi hermeneutik. Karakter obyek human science berbeda dari natural science. Obyek natural science –benar- benar out of there berupa benda-benda fisik yang lain dari kita. Antara subyek dengan obyek tidak terdapat kesamaan apa-apa sehingga kualitas keobyektifannya terjaga. Kondisi ini berbeda dari human science; subyek peneliti dengan obyek yang diteliti sama manusia; banyak hal yang sama, banyak pengalaman yang sama, subyek dan obyek dalam keadaan belonging experience, sama-sama memiliki pengalaman sehingga kualitas terjaganya obyektif tidak otomatis seperti obyek fisika. Memahami pengalaman orang lain adalah memahami pengalaman dirinya sendiri. Konsep aleanating distancsiation yang digagas oleh Gadamer bermaksud penciptaan jarak yang memishkan subyek dari obyek dan ini harus dilakukan dan menjadi pilihan guna menjaga kulitas obyektif human science. Gadamer tidak memberikan solusi yang mencukupi ,misalnya, tentang kerangka kerja untuk terjaganya keobyektifitasan ilmu ini.
Tradisi hermenutik selalu menggunakan human science atau social science. Beberapa filsuf dalam tradisi ini mencoba masuk ke wilayah disiplin ini melalui pinru studi sejarah model Diltheyan menggunakan metode verstehen (understanding) sementara metode explanation tidak sesuai untuk menjelaskan social life.
Hal ini berbeda dengan Auguste Comte yang langsung menyebut sebuah disiplin sosiologi dan metodenya mengadop metode ilmu alam yaitu mencari hubungan antar gejala dan dijelaskan secara kausalitas, sering disebut hukum kausalitas..
Ilmuwn lain yang masuk ke disiplin ini dari pintu berbeda dari dua di atas adalah Malinowski lewat antropologi sebab dia seorang antropolog. Ketika dia melakukan penelitian di suku Aborijin dan pulau Trobrian, teori antropologi yang ada saat itu adalah teori diffusionisme dan evolusionisme. Teori diffusionisme adalah teori penyebaran budaya. Problema yang dikeluhkan Malinowski adalah bagaimanamenjelaskan suat item budaya suku Aborijin tentang budaya perdukunan atau magik, apakah ini merupakan sebaran dari budaya suku primitive lain yang secara geografis jaraknya jauh dari suku ini. Apakah sedekah bumi alam tradisi budaya di tempat ini akibat sebaran dari tempat lain. Tidak ada catatan sejarah yang terdekomentasikan. Di sisi lain, teori ini mengalami kendala utamanya jika diterapkan untuk membngun sebuha teori yang dihrapkan memberikan sumbngsih ilmu sosiologi bagi kehidupan sosial budaya masyarkat. Hal ini juga dirasakan oleh Radcliffe Brown. Setelah menyelesikan studi di dua suku itu, Malinowski merumuskan doktrin fungsionlis dan ternyata jauh memperoleh respons dari mereka yang bermain dalam wilayah sosiologi. Dia berangkat dari asumsi, bahwa setiap manusia memiliki kebutuhan primer, sandang, pangan dan papan. Menghadapikebutuhan ini, manusia merancang teknik bercocok tanam, distribusi bahan makan, membangun tempt tinggal, melakukanrelasi antar mereka. Proses memenuhi kebutuhan primer ini, mereka menciptakan kebutuhan sekunder; kebutuhan untuk melakukan komunikasi diperlukan bahasa,maka diproduklah bahasa; kebutuhan untuk mengontrol konflik, serta untuk mengadakan kerja sama dirumuskan norma yang digunakan bersama dan sanksi; mereka juga membutuhkan adanya institusi lengkap dengan aturan termasuk mekanisme pergantian kekuasaan. Malionowski menegaaskan, setiap item budaya pasti mempunyai fungsi, item budaya itu eksis karena dapat memenuhi beberapa harapan atau kebutuhan . Dalam perkembangannya, gagasan Malinowski ini dikenal dengan teori analisis fungsionalisme. Robert K. Merton dalam buknuya " Social Theory and Social structure" berisi masalah yang terkait dengan prosedur analisis kualitatif. Di tempat yang sama juga ditegaskan bahwa karakter teori analisis fungsional adalah kualitatif. Dia menyatakan demikian, buku ini membahas tentang "the codification of substantive theory and of procedure of qualitative analyses in sociology; …functional analyses in sociology has been almost entirely qualitative in character . Yakni, buku ini membahas tentang merumuskan teori substantif serta prosedur analisis kualitatif dalam sosiologi….analisis fungsional dalam sosiologi secara umum memiliki karakter kualitatif, yakni teknik kerja penelitian lapangan yang membutuhkan waktu lam bagi peneliti untuk tinggal di lapangan dalam upaya menginternalisasikn diri dalam kehidupanmasyarakat di mana penelitian dilakukan.
Dalam disiplin sosiologi, teori substntif dilawankan dn merupakan pasangan dari teori formal atau formal theory. Dua teori tersebut lazim disebut sebagai pendekatan atau kerangka besar teori; yakn penelitian sosiologi dengan pendektan teori formal atau teori substantive. Teori formal memfokuskan penelitiannya terhadap berbagai jenis relasi sosial, interaksi sosial, hubungan sesama manusia, hubungn antar individu; yakni pola-pola hubungan serta materi pokok dalam interaksi; apakah pola exhange lazim dalam masalah ekonomi tapi juga tukar menukar ide, konsep atau gagasan; pola komunikatif, fungsional, dan lain-lain. George Simmel, sosilog Jerman, misalnya, memfokuskan penelitiannya pada studi tentang otoritas, konflik serta interaksi baik interaksi sosial atau interaksi simbolik agama maupun ekonomi. Sosiolog lain menjadikan fokus penelitiannya pada problem kriminal, family disorder atau family disorganization; relasi ras, status, klas sosial sampai kepada masalah penyimpangan dari norma yangberlaku dalam masyarakat. Sedangkan teori substantif berfokus pada penelitian terhadap budaya tertentu dari suatu masyarakat atau komunitas, termasuk small group, kelompok remaja, petani, guru . Peneliti memiliki banyak pilihan manakala memiliki dan menguasai kerangka teori secara baik.
1. Ricoeur
Beberapa teori nya yang akan dibahas di sini adalah:
a. teori meaning, b. Teori fiksasi (fixation), dan c. teori distansiasi (distanciation)
a. Dalam teori makna, Ricoeur mengikuti Frege yang telah diungkapkan di atas sehingga tidak perlu diulang.
b. Teori fiksasi
Teori ini untuk menjelaskan proses dari wacana lisan dibentuk ke dalam tulisan, Dari lisan ke penulisan; ini merupakan proses pengeksternalan wacana. Fungsi fiksasi adalah menjaga wacana dari kemusnahan . Bandingkan dengan teori tadwin dalam tradisi disiplin al-Qur'an dan al-Hadis. Pada masa khalifah Usman binAffan dilakukan upaya mengumpulkan ayat-ayat al-Quran yng masih terserak-serak untuk dijadikan suatu mushhaf yang menjadi standard bagi umat Islam. Fiksasi juga dilakukan oleh para sahabat, tabi'in dan tabiit-tabi'in terhadap hadis nabi. Dengan meminjam teori meta-historik, teori yang lazim dipakai dalam studi sejarah, kita bisa mengatakan demikian, "jika hadis tidak difiksasikan, sudah tentu, pengenalan kita atau pengetahuan kita terhadap peran Nabi Muhammad saw tidak seperti sekarang dengan tersedianya bahan atau teks hadis yang melimpah. Teks adalah medium distansi antara masa lalu dengan masa kini. Distansi adalah fakta, ada historical distance. demikian Gadamer. Teks yang ada memiliki historical effects yang mendekatkan apa yang jauh, it is the nearness of the remote, katanya. Dalam permainan ilmiah, meta historik bukan hipotesis. Tujuan meta historik untuk menjelaskan peran penting seseorang atau sesuatu (katakanlah, peran Being, meminjam konsep Heidegger) dalam temporalitas dan historisitas. Contoh, "seandainya Imam aas-Syafi'i, (pendiri salah satu madzhab fiqh) tidak lahir, maka…. Meta historik ini untuk menjelaskan peran penting yang telah dilakukan olehnya dalam peradaban, khususnya, bidang hukum. Imam Syafi'i benar-benar lahir dalam sejarah ini fakta dan kita tidak mempersoalkan lagi atas fakta keberadaan beliau dalam sejarah. Kita tidak bisa berbuat apa-apa terhadap masa lalu, demikian premis histories.
c. teori distansiasi
Dalam menjaga kejujuran ilmiah, Ricoeur mengakui bahawa teori distansiasinya terpengaruh oleh Gadamer. Ia mengambil teori ini bukan tanpa respons kritik atas teori tersebut. Pada baris pertama responsnya terhadap distansiasi Gadamer yang diaplikasikan untuk ilmu kemanusiaan, dia mengatakan, dialektika alienating distanciation dengan belonging experience untuk menjaga jarak keobyektifan dalam ilmu kemanusiaan merupakan alternatif yang tidak dapat dipertahankan.
Distansiasi Ricoeur lebih dilatari oleh studi bahasa, terutama oleh ahli bahasa Perancis, Benveniste. Menurutnya, bahasa wacana dengan bahasa sebagai bahasa merupakan dua hal yang berbeda. Kini pemilahan terserbut muncul dalam konsep, bahasa sebagai sistem bahasa dan dibedakan bahasa sebagai sistem komunikasi. Bahasa sebagai system bahasa adalah bahasa merupakan suatu tumpukan yang pasif, misalnya dalam kamus; sementara bahasa sebagai system komunikasi adalah bahasa yang telah diaktifkan oleh seseorang dalam suatu waktu dan tempat tertentu. Bahasa dalam wacana menegaskan adanya dialektika antara event dan meaning. Ini merupakan titik awal Ricoeur merumuskan teori teks, demikian pengakuannya.
Mengatakan bahwa wacana adalah event (peristiwa) berarti mengatakan bahwa wacana itu direalisasikan dalam waktu; discourse is realized temporally. Suatu wacana itu diungkapkan dalam perjalanan waktu tertentu sementara bahasa sebagai system bahasa tidak melibatkan waktu atau outside of time. Terhadap bahasa sebagai system bahasa tidak ada pertanyaan, siapa yang mengatakan? Kapan dikatakan? Di mana dikatakan? Pertanyaan-pertanyaan ini semua baru munculmanakala bahasa tidak sebagai system bahasa, bahasa masih dalam kondisinya yang pasif tidak dan atau belum diaktifkan dalam system komunikasi.Wacana sebagai event menunjuk kepada subyek yang mengatakan sementara bahasa sebagai sistem bahasa tidak. The eventful character is linked to the person who speaks, demikian Ricoeur . Dia melanjutkan, "what we wish to understand is not the event but the meaning. Discource is realized as event, but understood as meaning. Bahasa dalam wacana adalah bahasa yang telah diaktifkan oleh seseorang dalam wacana. Untuk itu, pertanyaan yang muncul antara lain, kapan diungkapkan? Di mana dan oleh siapa? Teori distansiasi bekerja sebagai proses memilah antara kejadian wacana dengan wacana iu sendiri. Apa yang menjadi perhatian hermeneutic bukan pada kejadiannya melainkan pada wacananya yang hendak digahami. Hermeneutik berkepentingan dengan wacananya, berkepentingan dengan bahasanya atau kalimatnya yang di dalamnya mengandung makna tertentu.
Distansisasi sebagai pemilahan antara peristiwa dengan makna oleh Ricoeur diberlakukan pada tindak bicara (wacana lisan), tindak menulis (teks) dan tindak berbuat (action) lengkap dengan karakteristiknya sendiri-sendiri. Akan tetapi dari tiga karakter tersebut, perhatian utamanya pada teks; distanciation separates the message from the speaker, from the initial situation and from its primary receiver . Distansiasi itu memisahkan berita dari sang penuturnya, dari situasi dan dari penerima awal berita tersebut.
Melalui wacana lisan atau wacana tulis, teks, dunia pemahaman seseorang menjadi terantang apakah dia memiliki self understanding yang mencukupi atau tidak.. Pada gilirannya dunia Self understanding seseorang juga tertantang untuk diekspresikan, direfleksikan atau diobyektifasikan dalam struktur makna melalui wacana lisan atau wacana tulis.
Kemudian Ricoeur membahas problem appropriation terkait dengan dunia teks.
Appropriation merupakan bahan yang dimiliki oleh seseorang yang paham.
Ia terkait dengan self understanding, atau pemahaman diri. Ketersediaan bahan
pada diri ini (appropriation), oleh Ricoeur dikaitkan dengan fiksasi penulisan
yang memiliki karakteristiknya sendiri. Problema lainnya adalah bahwa
ketersediaan bahan ini secra dialektis terkait dengan pengobyektifasian dalam
bentuk penulisan. Gadamer menyebut appropriation ini dengan "the matter
of the texts", Ricoeur menyebutnya dengan "the world of the work". Tampak
bahwa dalam hal ini, Ricoeur lebih cenderung ke Heidegger. Hal ini lebih tampak
kalau kita baca salah satu sub judul yang terdapat di dalam bukunya demikian,
"The new Being and the thing of the text". Kita memahami The new Being adalah
pemahaman baru yang diperoleh dari dunia teks. The thing of the text adalah obyek
kajian hermeneutic, demikian dia katakan. Dunia teks itu menangkap semua relassi
dengan dunia. Ini mempertegas referential relation to the worl and to the speaking
subject; bahwa dunia teks itu tidak bisa dipisahkan dari dunia luar baik dengan pemikiran-
pemikiran obyektif yang berada di luar diri maupun dengan subyek lain yang diajak berbicara.
Teks sebagai karya tulis memperoleh masukan dari dua sumber wacana yang transenden.
Sebuah karya tulis, sastra, cerpen, sinetron,misalnya, bukan murni hasil dari
diri seseorang penulis tanpa memiliki masukan dari dunia luar diri. Sebuah karya ilmiah
atau jenis karya yang lain bisa jadi bersumber dari karya tulis yang telah ada, atau bersumber dari
realitas empiric, atau bersumber dari
wacana pembicaraan dengan subyek lain. Sumber atau wacana yang telah ada atau faktor-faktor
eksternal luar diri merupakan bagian yang lazim terjadi bagi wacana. Bahwa ada factor eksternal
yang terlibat dalam proses wacana. Kondisi demikian ini, kata Ricoeur,
membuka kemungkinan bagi menjelaskan dunia teks. Arti menjelaskan di sini
adalah explanation, yang dahulu oleh Dilthey tidak diperbolehkan digunakan menjelaskan
ilmu kemanusiaan dengan alas an,metode ini hanya cocok untuk ilmu alam dan tidak
perlu kita pinjam untuk ilmu kemanusiaan. Ricoeur menegaskan demikian, "in contrast
to what Dilthey thought, this explanatory attitude is not borrowed from a field of
knowledge and an epistemological model other than that of language itself. It is not
a naturalistic model subsequently extended to the human science .
Menggunakan metode eksplanatori bukanberarti meminjam dari disiplin ilmu
pengetahuan lain. Metode eksplanasi tidak dipinjam dari ilmu alam melainkan
memang milik bahasa itu sendiri.
Distansiasi Ricoeur lebih dilatari oleh studi bahasa, terutama oleh ahli bahasa Perancis, Benveniste. Menurut Benveniste, bahasa wacana dengan bahasa sebagai bahasa merupakan dua hal yang berbeda. Kini pemilahan terserbut muncul dalam konsep bahasa sebagai sistem bahasa dan dibedakan dari bahasa sebagai sistem komunikasi. Bahasa sebagai system bahasa adalahbahasa merupakan suatu tumpukan yang pasif, misalnya dalam kamus; sementara bahasa sebagai system komunikasi adalah bahasa yang telah diaktifkan oleh seseorang dalam suatu waktu dan tempat tertentu. Bahasa dalam wacana menegaskan adanya dialektika antara event dan meaning. Ini merupakan titik awal Ricoeur merumuskan teori teks seperti telah dibahas di atas.
Setelah menegaskan teks sebagai karya tulis memperoleh masukan dari dua sumber wacana transenden. Menurut Ricoeur bahwa explanation, yang oleh Dilthey dianggap tidak cocok menjelaskan ilmu kemanusiaan. Kini oleh Ricoeur ditegaskan demikian, "in contrast to what Dilthey thought, this explanatory attitude is not borrowed from a field of knowledge and an epistemological model other than that of language itself. It is not a naturalistic model subsequently extended to the human science . Menggunakan metode eksplanatori bukan berarti meminjam dari disiplin ilmu pengetahuan lain. Metode eksplanasi tidak dipinjam dari ilmu alam melainkan memang milik bahasa itu sendiri.
Kamis, 11 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar