Tiga arus hermeneutika
Ada tiga arus dalam hermenutika tiga (Bleicher, 1980) ;
a. hermeneutika teori, (hereneutical theory),
b. hermeneutika filsafat,( hermeneutic philosophy),
c. hermeneutika kritik. (Critical hermeneutics).
Kami menterjemahkan “hermeneutical theory” dengan “hermeneutika teori” dan tidak dengan “teori hermeneutik”. Penterjemahan tersebut bermaksud untuk membedakan istilah "hermeneutika teori" dengan "teori hermeneutika. Hermeneutika teori adalah sebutan atau nama dari sebuah aliran yang terdapat dalam disiplin hermeneutika, sementara "teori hermeneutika" dapat diartikan sebagai teori-teori yang diproduk oleh hermeneutika. . Pembedaan tersebut juga untuk menghindari tumpang tindih makna Untuk kepentingan menghindari tumpang tindih serta untuk menegaskan nama bagi sebuah aliran dalam hermeneutika, maka kami memilih menterjemahkan dengan "hermeneutika teori" (bukan teori hermeneutika); "hermeneutika filsafat" (bukan filsafat hermeneutika) dan "hermeneutika kritik" (bukan kritik hermenutika).
Hermeneutika teori memfokuskan perhatiannya pada masalah teori penafsiran yang bersifat umum sebagai metode penafsiran dalam disiplin ilmu-ilmu kemanusiaan atau geisteswissenschaften termasuk sosiologi dan ilmu budaya. Hermeneutika teori menempatkan hermeneutika sebagai metode penafsiran untuk menghasilkan pemahaman; dengan kata lain,.pemahaman merupakan hasil dari proses penafsiran.
Dalam kamar ini, hermeneutik diperlakukan sebagai metode penafsiran terhadap pemikiran orang lain baik berupa wacana lisan maupun tulis. Emilio Betti –salah satu figur dari aliran ini- menyatakan bahwa pemahaman atau pengetahuan yang obyektif diperoleh setelah melalui proses penafsiran. Tujuan dari hermeneutik teori adalah tercapainya pemahaman yang obyektif.
Hermeneutika Filsafat
Pendapat ini memperoleh reaksi dari Heidegger dan Gadamer, dua figur yang merupakan representasidari hermenutika filsafat.
Hermeneutika filsafat berpendapat bahwa seorang ilmuwan atau seorang penafsir sejak dini sudah terikat dalam suatu tradisi. Keadaan ini menjadikan mereka telah memiliki pre understanding terhadap tradisi di mana mereka berada di dalamnya. Dengan kenyataan semacam ini, ilmuwan atau penafsir tidak berangkat dari pikiran yang netral. Dengan demikian, kemungkinan memperoleh pemahaman yang obyektif terhalang oleh keadaan riel peneliti yang sejak dini telah bermukim dalam satu tradisi.
Menurut hermeneutika filsafat, hermenutika bukan sebuah proses metode untuk tujuan mencapai pengetahuan yang obyektif. Hermeneutika bertujuan menjelaskan fenomena human Dasein, atau eksistensi manusia. Bahwa di dalam diri manusia tersimpan karakteristik potensial yang khas manusia. Karakter potensial ini adalah pemahaman. Pemahaman itu selalu berada dalam perjalanan waktu dan dalam lintasan sejarah. Manusia adalah mahkluk yang memahami. Oleh hermeneutika filsafat pemahaman hanya dimiliki atau terdapat dalam human Dasein Untuk memperoleh pemahaman, demikian tegas Heidegger, seseorang tidak harus menunggu adanya proses penafsiran. Tanpa proses penafsiran pun, Dasein adalah makhluk pemahaman. Bahkan, manusia bisa pnya pemahaman terlebih dahulu sebelum penafsiran.Seseorang bisa memiliki pemahaman terlebih dahulu baru kemudian melakukan penafsiran.
Ini menandai terjadi perubahan diskusi hermeneutika yang bersifat substantif, yakni, diskusi hermenutika berpindah dari kamar epistemologi ke kamar ontologi. Adalah Heidegger (1889-1976) filsuf pelaku perubahan itu.
.
Sebagai eksistensi yang berkarakter memahami, eksistensi manusia bersifat terbuka, dan selalu dalam proses becoming (proses menjadi). Dia selalu melintas dalam temporal continuoum dan beregrak dalam historicality, gerak sejarah yang terus berkembang ke arah yang lebih maju.
Heidegger memilah antara Being of Dasein (human existentiales) dan Being dalam arti entitas (sein, wujud selain eksistensi manusia). Hanya Being of Dasein yang berkarakter pemahaman. Lebih tegas dia mneyatakan, pemahaman adalah Dasein itu sendiri. Pemahaman adalah suatu konsep ontologi yang fundamental yang terdapat dalam diri Being of Dasein. Dalam tradisi filsafat sebelumnya, kita telah mengenal manusia adalah binatang yang berfikir. Kini, manusia adalah makhluk yang memahami. Heidegger menyatakan, "knowledge is mode of Being of Dasein as Being in the World". Bandingkan dengan konsep yang bersumber dari Qur'an "khalifah fil ardl; jika konsep "khalifah" tersebut merujuk kepada human existeniales dan tidak merujuk kepada being lain selain manusia, maka, khalifah adalah the mode of Being of Dasein as Being in the world. Uji kemampuan terkait dengan potensi fundamental yang terdapat dalam diri Nabi Adam disebutkan dalam ayat, wa 'allama Adam al-asma kullaha…(al-Baqarah).
Kita kembali ke Heidegger. Menurutnya, pemahaman dan penafsiran tidak perlu dibedakan. Pemahaman tidak harus didahului oleh penafsiran. Pemahaman bisa ada tanpa melalui penafsiran. Bahkan dia menegaskan bahwa pemahaman yang diperoleh dengan metode menafsirkan pikiran orang lain merupakan inauthentic understanding, yakni pemahaman yang tidak autentik. Dikatakan tidak sejati karena pemahaman ini diperoleh melalui proses penafsiran terhadap pikiran orang lain; dia memahami pikiran orang lain. Artinya, dia memahami konsep milik orang lain dan itu berarti bukan pemahaman miliknya sendiri. Heidegger juga menyatakan , what is understood is to be interpreted, apa yang sudah difahami baru ditafsirkan. Seseorang yang beragama Islam paham bahwa dia sedang berjalan menuju masjid untuk menunaikan shalat. Dia paham bahwa shalat maghrib adalah wajib dalam agama Islam. Setelah shalat, dia paham bahwa dia membaca al-Qur'an dan dia paham bahwa dia juga paham makna ayat-ayat yang dia baca, atau sebaliknya, dia paham bahwa dia tidak memahami makna ayat yang dia baca. Meskipun demikian ia tetap berusaha menjelaskan (menfasirkan) kepada orang lain bahwa meskipun dirinya tidak memahami arti yang dibaca, tetapi membaca al-Qur'an merupakan salah satu cara menegaskan diri sebagai seorang Muslim.
Oleh Heidegger, hermeneutika dipindah dari kamar epistemologi ke kamar ontologi. Di kamar ini tidak lagi mempertanyakan tentang bagaimana saya memperoleh pemahaman. Alasannya karena pemahaman merupakan karakter ontologis yang fundamental khas dalam diri manusia. Pemahaman adalah manusia itu sendiri
Being in the world.
Doktrin ini muncul dari latar belakang diskusi epistemologi. Dalam tradisi epistemologi semennjak Plato, Descares, Kant sampai fenomenologi, sejak dini konsep subyek obyek ditempatkan saling berhadapan. Sebagai filsuf pencetus analisis being, Heidegger memengambil cara yang berbeda dari mereka. Dia tidak menempatkan subyek dan obyek dalam dua titik yang berhadap-hadapan, Ia mengatakan, subyek dan obyek adalah milik dunia (world). Lalu ia menggantinya dengan konsep "being". Daripada menggunakan kata-kata " both subject and object in the World", dia memilih " being in the World”.. Heidegger meleburkan Subyek obyek menjadi "being". Dan being di sini menunjuk kepada being of Dasein dan being of thing. “Being of Dasein” yang dimaksud adalah manusia sedangkan “being of thing” adalah segala sesuatu Paul Ricoeur(1981; 56) memberi komentar, gerakan Heidegger ini sebagai "the movement from the problem of method towards the problem of being ., . Teori pengetahuan model Heidegger ini oleh Ricoeur digambarkan sebagai "being encaounter being" menggantikan tradisi sebelumnya yang sejak pagi telah memilah subyek berhadapan dengan obyek yang di luar sana (luar diri). This Dasein is not a subject for which there is an object, but rather being within being . Ia juga bisa disebut gerakan “being in the being. being of Dasein, terdapat dalam being of the thing. Dan dua being ini ada di dalam the world, Inilah doktrin being in the world itu.
Doktrin ini merupakan salah satu tema dari bukkunya yang terkenal, berjudul, "Being and Time". Anthony Giddens penggagas teori strukturasi mengakui bahwa dirinya terpengruh oleh karya Heidegger ini. Persoalan riel dari karya ini bukan mengenai bagaimana being dapat dipahami melainkan bagaimana menjelaskan bahwa pemahaman adalah being. Heidegger menegaskan bahwa pemahaman adalah being.
Filsuf lain dalam kamar ini adalah.Gadamer Dia tidak meneruskan problema being Heidegger, melainkan kembali mendiskusikan problema metodologi. Gadamer menyatakan demikian,
" The principle of hermenutics simply means that we should try to understand everything that can be understood. This is what I meant by the senten. Selanjutnya dia mneyatakan, "being that can be understood is language" . Being adalah bahasa, kata Gadamer; being adalah pemahaman, kata Heidegger.
Wilayah pemahaman mencakup berbagai macam aktivitas mulai dari komunikasi antar sesama sampai masalah manipulasi sosial, mulai dari pengalaman personal individu sebagai warga masyarakat sampai dengan bagaimana dia memahami kehidupan dalam masyarakat dan bermasyarakat, mulai dari masalah tradisi yang bersumber dari agama, masalah hukum, masalah perkembangan pemikiran filsafat, karya seni sampai revolusi kesadaran yang masuk ke wilayah tradisi agama melalui refleksi emansipasi .
Paul Ricoeur menambhkan bahwa pemahaman itu berhubungan dengan situasi, atau posisi seseorang dalam suatu keadaan. Di dalam situasi itulah pemahaman muncul meski masih bersifat mendasar Bultman mennyatakan bahwa pemahaman semacam ini sebagai pre undersanding, atau prejudice.
Secara struktural, pemahaman itu mencakup pre understanding. mis understanding. non understanding dan false understanding. Salah satu dari tujuan hermeneutik filsafat adalah membebaskan manusia dari pemahaman yang salah (false understanding) dan sejenisnya, non dan mis understanding.
Apa yang dimaksud dengan pre understanding adalah yang bersumber dari tradisi agama seperti surga, bidadari, neraka, siksa kubur, pahala, dosa, taubat dan lain-lain. Pemahaman semacam ini hanya berdasar keterangan pihak lain yang diperoleh melalui pergaulan atau pendidikan pada jenjang pemula.
Hermeneutika Kritik
Dalam wacana hermeneutika masih terjadi perdebatan yang melibatkan Gadamer sebagai wakil dari hermeneutika filsafat dengan Habermas sebagai wakil dari hermeneutika kritik. Menurut Habermas, hermeneutika teori dan hermeneutika filsafat mengabaikan faktor ekstra bahasa yang berpeluang bisa mempengaruhi pemikiran dan tindakan seseorang(Bleicher, 1980) . Beberapa filsuf seperti Apel, Adorno dan Habermas mencurahkan perhatiannya pada masalah faktor ekstra bahasa ini dan dalam perkembangannya melahirkan apa yang dikonsepsikan sebagai hermeneutika kritik.
Hermenutika kritik lahir dilatari oleh dua aliran sebelumnya yang mengabaikan tlatah extra linguistic.
Ada kemungkinan seseorang berada dalam lingkungan sosial yang bersifat uncontrollable suatu lingkungan di mana dia tertekan secara mental dan psikis namun tidak memiliki kemampuan kontrol apalagi mengubahnya; situasi ini digambarkan sebagai , "the second nature". Situasi semacam ini merupakan faktor eksternal yang menyebabkan dia terpaksa melakukan sesuatu atau mengucapkan sesuatu . Oleh sebab itu untuk menafsirkan tindakan atau ucapan seseorang maka penjelasan model causal explanation bisa menjadi pilihan sehingga tidak hanya motivational understanding, sebagai satu satunya metode untuk memahami kehidupan manusia baik pada level individual maupun kolektif.
Kita berpindah ke masalah makna "kritik". Apakah makna "kritik" dicoba jawab oleh para penumpang aliran hermeneutik kritik. Sandkuhler memahami kritik sebagai rekonstruksi melalui penelitian yang cermat terhadap asal muasal munculnya fenomena intelektual. Apel, Habermas dan Lorenzer memahami kritik sebagai self-reflextion dan pembebasan. Mereka menggunakan paradigma psikoanalisis. Psikoanalisis dipandang sebagai sains yang membebaskan, yakni, membebaskan pasien yang pemahaman dirinya (self-understanding) terganggu tujuannya memulihkan kembali depth self understanding pasien yang terganggu sampainormal. Karena itu, hermeneutik kritik disebut juga dengan depth hermeneutics. Istilah depth ini meminjam psikoanalisis. Hanya saja wilayah garapan hermeneutika kritik bukan kehidupan individu melainkan kehidupan sosial. hermeneutik kritik selalu merujuk pada kekuasaan sebagai faktor eksternal penyebab gangguan depth understanding sosial.. Konkrit yang dicontohkan seperti sensor penguasa terhadap berita atau buku tertentu, cekal penguasa atas seseorang, tekanan penguasa atas kasus tertentu sehingga sulit diurai dengan nalar umum (common sense)…, atau penggunaan kekerasan atas nama kekuasaan untuk tujuan tertentu.
Istilah hermeneutika kritik dalam perkembangannya memasuki wilayah kehidupan sosial budaya dengan menggunakan sebutan kritik sosial atau kritik ideologi.
Surabaya, 12-02-2010
a. khozin afandi
Kamis, 11 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar